Hukum

Masyarakat VI Koto Kinali Berharap Penyelesaian Konflik Lahan dengan PT LIN

121
×

Masyarakat VI Koto Kinali Berharap Penyelesaian Konflik Lahan dengan PT LIN

Sebarkan artikel ini
Masyarakat Kinali Berharap Penyelesaian Konflik Lahan
Masyarakat Desa VI Koto, Kinali, bersama pendamping kuasa hukumnya dari DPP Aliansi Indonesia usai berikan keterangan kepada media, Minggu (3/12/2021) di Padang. (ist)

mjnews.id – Konflik kepemilikan lahan ulayat antara warga VI Koto Kinali, Kabupaten Pasaman Barat (Pasbar) dengan perusahaan perkebunan sawit (yang kini dikelola oleh PT LIN) tidak kunjung usai. Konflik ini sudah berlangsung hingga 20 tahun dan sudah banyak dicoba untuk melakukan mediasi namun tak kunjung selesai.

Konflik lahan itu berawal dari penyerahan lahan ulayat ke pemerintah pada tahun 1989 yang pada akhirnya pengelolaannya diserahkan kepada investor yang saat itu diserahkan kepada PT Tri Sangga Guna (TSG). Penyerahan ada dua tahap. Tahap pertama penyerahannya tahun 1989 di Desa Langgam, Katiagan dan Mandiangin. Karena kurang luas maka diminta lagi pengajuan 7000 hektare. Pada tahun 1990 maka diberikan lagi lahan masih di wilayah Desa Langgam, Katiagan dan IV Koto. Tahun 1990 terjadi gejolak. Bahkan ada demo penolakan dari warga dan sudah sampai kepada aparat dan sudah sampai ke pengadilan.

Dasar penolakan warga adalah lahan yang digarap oleh PT TSG saat itu bukan lahan yang diserahkan namun berada pada tanah ulayat VI Koto. 

“Ya, awal konflik itu memang sudah cukup lama bahkan sudah hampir 20 tahun lamanya,” ujar salah seorang pengurus DPP Lembaga Aliansi Indonesia, Sugondo selaku pendamping kuasa hukum warga VI Koto kepada wartawan, Minggu (3/1/2021) di Padang.

Dikatakan Sugondo, kebun sawit yang saat ini dikelola oleh PT LIN berada di Desa VI Koto bukan di Desa Langgam, Katiagan dan Mandiangin yang diserahkan dulu itu. “Bukti penyerahan dua tahap lahan ulayat itu sama ninik mamak dan pemangku bukti otentik cukup lengkap,” jelasnya.

Kesimpulannya, investor yang kini mengelola lahan ulayat itu diduga telah melakukan penyerobotan ulayat VI Koto.

“Kita menantang pihak-pihak terkait untuk mengukur ulang lahan yang dikelola oleh investor PT LIN. Luasnya bisa jadi lebih dari 7.000 hektare bahkan bisa jadi sudah sampai 9.000 hektare,” kata Sugondo. 

 

Persoalan ini sudah sampai ke Pemkab Pasbar, DPRD Pasbar, bahkan ke DPRD Sumbar serta ke pusat (Kantor Staf Presiden). “Kita sudah menyurati Kantor Staf Presiden (KSP) dan jawaban mereka memulangkan kepada pemerintah setempat untuk menyelesaikannya,” tutur Sugondo.

Datuak Kaisar Simarajo, salah seorang ninik mamak atau pemangku adat Nan Koto Kinali menambahkan, perjuangan warga memang sudah cukup panjang. “Pada tahun 1991 baru kami ketahui bahwa lahan ulayat yang digarap oleh investor itu VI Koto bukan ulayat yang diserahkan pada tahun 1989 itu,” kata Dt. Kaisar Simarajo membuka ceritanya.

Mengetahui hal itu, maka dilakukanlah upaya untuk menuntaskan oleh para leluhur bahkan sudah banyak yang meninggal. “Jadi, kami yang ada sekarang selaku pemangku adat akan melanjutkan perjuangan para leluhur kami tersebut dan masyarakat,” katanya.

Dilanjutkan Dt. Kaisar Simarajo, menurut status adat di Kinali untuk tanah ulayat terbagi tiga, pertama ulayat VI Koto, kedua Langgam dan ketiga IV Koto. Jadi istilah di Kinali untuk tanah ulayat ini terkenal dengan sebutan babingkah tanah. “Jadi, kami meminta kepada DPP Lembaga Aliansi Indonesia untuk bisa mendampingi menyelesaikan konflik tanah ulayat di VI Koto ini karena sudah menyerobot lahan ulayat anak kamanakan seluas 1.350 ha,” jelasnya.

Dikatakan Dt. Kaisar Simarajo, soal HGU yang dimiliki oleh investor diakui bukan disalahkan tetapi HGU yang dimiliki desanya di Langgam, Katiagan. Tanah yang diolah kini letaknya di Desa VI Koto, buktinya ada pada ninik mamak. Artinya yang mereka kausai kini lahan di Desa VI Koto Kinali.

“Masyarakat kami yang ada sekitar 2.000 orang terus mempertanyakan soal kepemlikan tanah ulayat yang dikuasai oleh investor itu. Artinya, kami juga tidak mau mengusir investor hanya saja status tanah itu kepemilikannya atas nama kami (VI Koto) karena belum pernah kami menyerahkan kepada siapa pun,” ungkapnya.

Saripudin Dt. Rangkayo Basa yang juga hadir dalam keterangan pers itu menambahkan, dalam surat penyerahan itu tidak ada satu kata pun penyerahan anah ulayat VI Koto kepada investor kecuali diserahkan kepada Desa Katiagan, Langgam, dan Mandiangin serta IV Koto. “Ini ada suatu pelanggaran yang dilakukan pihak swasta atau investor secara berjamaah,” terang Saripudin Dt. Rangkayo Basa.

Intinya apa yang diinginkan masyarakat VI Koto adalah pertama pengelola lahan atau investor jelas-jelas telah melanggar, hak masyarakat harus dikembalikan dan mari duduk bersama untuk bermusyawarah. “Bayangkan satu hari itu hasil sawit yang diproduksi bisa-bisa 1 ton, masyarakat hanya bisa menonton saja saat mobil pengangkut sawit melewati rumah warga,” jelas Rangkayo Basa dan dibenarkan warga lainnya.

Margawati salah seroang anggota Tim Penyelesaian dari Aliansi Indonesia, dan juga warga mengatakan, upaya apa pun telah dilakukan, namun hasilnya sampai sekarang belum ada kepastian hukum. Bahkan surat terbuka pun dibacakan Margawati untuk Presiden RI. Intinya meminta tanah ulayat VI Koto untuk dikembalikan yang telah diserobot oleh investor saat ini. 

“Jadi, kami memohon kepada instasi terkait mulai dari Pemkab hingga pusat tolong dengarkan keluhan kami ini. Jangan kami dijanji-janjikan lagi,” kata Margawati penuh lirih.

Sementara pihak PT LIN belum bisa dikonfirmasi atas protes dari masyarakat ini. Beberapa kali dihubungi melalui Humasnya, Yudi nomor ponselnya tidak aktif.

(da/win) 

Kami Hadir di Google News