Feature

Maligi Belum Juga Punya Jalan Raya

74
×

Maligi Belum Juga Punya Jalan Raya

Sebarkan artikel ini
Maligi Belum Juga Punya Jalan Raya
Masyarakat Maligi dibantu seorang polisi, mendorong sebuah mobil terjebak lumpur ketika melewati akses jalan penuh kubangan di Maligi. (musriadi musanif)
mjnews.id – Maligi. Nama itu jelas tak asing lagi bagi masyarakat Minang. Banyak tersebut dalam petatah-petitih. Sering pula ada dalam pantun-pantun yang dilantunkan dengan irama syahdu. Posisinya yang menghadap Samudra Hindia menambah pesona. Pemandangan indah menyejukkan mata dan jiwa.
Negeri yang berada dalam wilayah Kecamatan Sasak Ranah Pasisie, Kabupaten Pasaman Barat itu, tidak saja dikenal sebagai pemasok ikan, baik ikan basah maupun yang sudah diolah jadi ikan asin, di Sumatera Barat (Sumbar), tetapi juga dikenal dengan kerbaunya.
Untuk hasil laut, sebenarnya nelayan Maligi tidak semata-mata menangkap ikan, tetapi juga ada udang dan lokan, yang banyak dicari penggemar makanan laut alias sea food di Padang dan beberapa kota lainnya.
Sepuluh tahun belakangan, di kawasan Maligi juga ditanami kelapa sawit, baik yang dilakukan masyarakat maupun perusahaan pekebunan berskala besar. Kini, masyarakat Maligi juga bertanam jeruk pasaman yang sudah dikenal hingga ke beberapa kota di Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Riau.
Apalagi? Jalan raya!
Ya, jalan raya adalah masalah klasik masyarakat Maligi. Mereka menangis ketika akan menjual hasil laut dan bumi ke pusat pemasaran terdekat, yakni Sasak, Ujuanggadiang, dan Simpang Ampek. Maligi nyaris tak punya akses yang layak digunakan kendaraan bermotor ke luar nagari.
Dahulu, masyarakat Maligi menggunakan pedati yang ditarik dengan kerbau, ketika akan pergi ke Pasar Sasak menjual hasil bumi dan laut mereka. Semua ikan tangkapan mereka harus dijadikan ikan asin, karena hanya bisa dipasarkan sekali dalam sepekan.
Setiap malam Sabtu atau Jumat malam, iring-iringan pedati dengan suara ganto yang menyayat hati, terlihat dengan susah payah melewati pasir pantai, lumpur, dan kubangan yang menghiasi jalan yang akan dilalui. Sabtu pagi, mereka tiba di Pasar Sasak.
Kini, ketika sarana transportasi sudah demikian berkembang pesat. Maligi masih tertinggal. Jalan raya yang pantas untuk dilalui kendaraan bermotor, tetap saja belum dibangun pemerintah. Padahal, di nagari pemekaran itu, ada seribuan warga bermukim.
Tidak sembarang mobil bisa tembus ke perkampungan masyarakat Maligi. Bila melewati jalur perkebunan dari Aie Gadang, jaraknya lebih 30 kilometer dengan jalan yang bukan main jeleknya. Maklumlah, jalan perkebunan yang dilalui truk-truk pengangkut kelapa sawit dan truk tengki minak sawit berdaya angkut puluh ton. Jalan itu, menurut warga, terbilang jauh dan memakan waktu lama untuk sampai ke Maligi.
Ada satu jalan lagi. Tapi sangat sulit dilewati, karena tidak ada yang namanya jalan raya. Kendaraan hanya memilih jalan yang sudah ‘pasa’ saja sepanjang pantgai. Selain itu, ada pula sungai yang harus diseberangi. Sebenarnya, di jalur yang panjangnya sekitar 10 kilometer dari Sasak itu, sudah dibangun sebuah jembatan yang diharap bisa membuka isolasi Maligi.
“Itu hanya jembatan saja. Jalannya tidak ada. Kendaraan yang akan keluar masuk Maligi melintasi jalan tersebut, harus dengan tertatih-tatih dan perjuangan berat,” ujar Andri Afriza, seorang warga Maligi, bercerita, Minggu (21/6/2020).
Menurut Andri, akses transportasi yang sangat jelek menyebabkan perekonomian masyarakat terus terpuruk. Hasil perikanan, peternakan, dan perkebunan seakan tidak ada artinya, karena susah untuk dibawa ke pusat pemasaran.
Ironisnya, sebut dia, kalau ada masyarakat yang sakit atau hendak melahirkan, maka dengan perjuangan yang begitu berat dan memakan waktu cukup lama, mereka baru bisa sampai ke RSUD Pasbar di Jambak untuk mendapat perawatan.
“Tak jarang wanita hamil itu harus melahirkan di perjalanan. Tak jarang pulang, mobil ambulans yang membawa pasien terpaksa arus ditarik oleh kendaraan lain,” katanya.
Seakan sudah putus asa berharap kepada pemerintah agar dibangunkan jalan raya yang layak, kini masyarakat Maligi yang beberapa iven tradisinya pernah tayang di TransTV itu, melakukan patungan untuk menimbun lobang-lobang jalan berlumpur.
Sayangnya, tanah timbunan yang dibutuhkan untuk menimbuni jalur yang biasa dilalui kendaraan itu tidaklah sedikit. Diperkirakan lebih dari seratusan truk. Satu truk tanah timbunan sampai ke lokasi, harganya sekitar Rp450 ribu. Artinya, untuk menimbun lobang-lobang jalan itu saja, dibutuhkan dana paling sedikit Rp45 juta.
“Itu baru perkiraan kasar dan minimal. Kami berharap ada donatur yang berkenan membantu, baik dalam bentuk uang tunai maupun bantuan alat berat,” terang Sekretaris Nagari Maligi Hendrian.
Masyarakat Maligi memang terkesan sudah lelah berharap kepada pemerintah, baik Pemkab Pasaman maupun Pemprov Sumbar, untuk bisa dibuatkan jalan raya yang layak dilalui kendaraan bermotor.
Dari sisa-sisa asa yang mereka punya, semoga donatur, anggota legislatif, pengusaha, jajaran pemerintah, atau siapa saja yang peduli, berkenan membantu mengakhiri derita mereka. Cepat atau lambat. (Musriadi Musanif)

Kami Hadir di Google News