Ekonomi

Utang Pemerintah RI Tembus Rp 6.445 Triliun

85
×

Utang Pemerintah RI Tembus Rp 6.445 Triliun

Sebarkan artikel ini
sri mulyani indrawati
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

MJNews.id – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat jumlah utang pemerintah mencapai Rp6.445,07 triliun per Maret 2021. Angka tersebut naik Rp84,07 triliun dibandingkan bulan sebelumnya yang berjumlah Rp6.361 triliun.

Jika dibandingkan dengan Maret 2020, utang pemerintah juga terjadi peningkatan sebesar Rp1.252,51 triliun dari Rp5.192,56 triliun menjadi Rp6.445,07 triliun.

Berdasarkan data APBN KiTa edisi April 2021 yang dikutip, Selasa 27 April 2021, jumlah utang pemerintah yang mencapai Rp6.445,07 triliun ini setara dengan 41,64% terhadap produk domestik bruto (PDB).

“Secara nominal, posisi utang pemerintah pusat mengalami peningkatan dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Hal ini disebabkan kondisi ekonomi Indonesia yang masih berada dalam fase pemulihan akibat penurunan ekonomi yang terjadi di masa pandemi Covid-19,” tulis laporan APBN KiTa, seperti diwartakan detikcom, Selasa 27 April 2021.

Total utang pemerintah yang mencapai Rp6.445,07 triliun ini terdiri dari pinjaman sebesar Rp861,91 triliun dan surat berharga negara (SBN) sebesar Rp5.583,16 triliun atau pinjaman sebesar 13,37% dan SBN sebesar 86,63% dari total utang pemerintah.

Utang pemerintah yang berasal dari pinjaman terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp12,52 triliun dan pinjaman luar negeri Rp849,38 triliun. Adapun, rincian dari pinjaman luar negeri terdiri dari bilateral Rp323,14 triliun, multilateral Rp482,02 triliun, commercial bank Rp44,23 triliun, dan suppliers nihil.

Sementara yang berasal dari SBN terdiri dari SBN domestik sebesar Rp4.311,57 triliun. Di mana dalam bentuk surat utang negara sebesar Rp3.510,47 triliun dan surat berharga syariah negara (SBSN) sebesar Rp801,10 triliun.

Selanjutnya dalam bentuk SBN valas sebesar Rp1.271,59 triliun, yang terdiri dari surat utang negara sebesar Rp1.024,59 triliun dan SBSN sebesar Rp247,00 triliun. Dengan begitu, maka total utang pemerintah yang berasal dari SBN sebesar Rp5.583,16 triliun.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat pemerintah memang sudah menarik utang sebesar Rp 328,5 triliun sampai 31 Maret 2021. Angka tersebut sudah mencapai 27,9% dari target Rp1.177,4 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, mengatakan, pembiayaan utang yang mencapai Rp328,5 triliun ini terdiri dari penerbitan SBN yang mencapai Rp337,2 triliun dan pinjaman yang mencapai Rp8,7 triliun. “Sampai tahun 2021 Maret, kita sudah merealisir Rp328,5 triliun pembiayaan utang kita,” katanya.

Sementara untuk pembiayaan investasi, Sri Mulyani mengatakan sudah mencapai Rp 5,6 triliun atau 3,0% dari target Rp 184,5 triliun. Sementara untuk pemberian pinjaman, kewajiban penjaminan, dan pembiayaan lainnya masih nihil. Dengan begitu, total pembiayaan anggaran sampai 31 Maret 2021 mencapai Rp 323,0 triliun dari target pembiayaan mencapai Rp 1.006,4 triliun.

“Pembiayaan utang hingga saat ini mencapai 63,9% dari target semester I, atau sudah 27,9% dari target APBN,” ujarnya.

“Pembiayaan utang untuk menopang kebutuhan non utang termasuk untuk investasi dan untuk menambal defisit, juga untuk akselerasi pertumbuhan ekonomi yang dirasakan masyarakat dan dunia usaha. Apakah defisit ini produktif dan untuk mendukung dunia usaha pulih kembali,” tambahnya.

Sentil Menteri Keuangan

Sementara, Ekonom Rizal Ramli mengkritik kerasi langkah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta bantuan IMF hingga Bank Dunia dalam mengelola utang negara, dinilainya tidak tepat. Rizal melihat langkah tersebut justru membawa Indonesia masuk ke dalam jurang krisis yang lebih dalam lagi.

Jika Indonesia kembali mengundang IMF, Rizal menyebut bisa berdampak pada ekonomi nasional. Dia menilai perekonomian Indonesia akan semakin hancur, seperti tahun 1998 silam. “Undang IMF lagi, ekonomi Indonesia akan semakin hancur seperti 1998,” tegas Rizal Ramli.

Oleh karena itu, dia kembali mengingatkan sejarah hubungan Indonesia dengan IMF khususnya tahun 1998. Menurut dia, bukan keluar dari krisis moneter tahun 1998, Indonesia malah terjerumus ke dalam krisis ekonomi hingga mematik kerusuhan di bidang politik dan keamanan.

Saat-saat paling buruk, kata Rizal, ketika IMF mendikte pemerintah Indonesia di era 1998.

Rizal Ramli masih mengingat bahwa kala itu dia menjadi salah satu ekonom yang diundang pemerintah untuk bertemu dengan petinggi IMF di Jakarta. Alih-alih pemerintah berharap dukungan dari Rizal Ramli, mantan anggota Tim Panel Ekonomi PBB itu justru menentang keras kehadiran IMF.

“Saya dulu ekonom yang menentang masuknya IMF. Saya bilang keras-keras, Indonesia tidak butuh IMF. Krisis akan makin buruk kalau IMF diundang masuk ke Indonesia,” katanya.

Hanya saja hal tersebut terlambat, Presiden Soeharto justru meneken perjanjian dengan IMF. Bos IMF Michael Camdessus menyaksikan momen penandatanganan tanggal 15 Januari 1998 itu sambil menyilangkan kedua lengan di dada. Sementara Soeharto membungkuk untuk menandatangani Letter of Intent (LoI). Inilah momen kekalahan Indonesia oleh IMF.

Kekhawatiran Rizal soal IMF bukan tanpa alasan. dia melihat beberapa negara malah terperosok makin dalam. Benar saja, IMF segera mengeluarkan aneka kebijakan yang membuat situasi makin buruk.

“Begitu IMF masuk, dia sarankan tingkat bunga bank dinaikkan dari 18 persen rata-rata jadi 80 persen. Banyak perusahaan langsung bangkrut,” ungkap Rizal.

Selanjutnya, saran IMF untuk menutup 16 bank juga menuai polemik. Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat pada perbankan Indonesia. Para nasabah ramai-ramai menarik uang simpanan mereka di bank. Dari sini pemerintah terpaksa menyuntikkan dana BLBI sebesar US$ 80 miliar. Inilah awal malapetaka kasus korupsi triliunan rupiah yang belum tuntas di Indonesia.

Parahnya lagi, sambung Rizal Ramli, IMF meminta Indonesia menaikkan harga BBM. Akhirnya pada 1 Mei 1998, Presiden Soeharto menaikkan harga BBM hingga 74 persen. Hal ini menurut Rizal yang memantik kerusuhan besar-besaran di Indonesia.

“Besoknya demonstrasi besar-besaran. Kerusuhan di mana-mana, ribuan orang meninggal. Rupiah anjlok,” tutur Rizal.

Rizal mengungkapkan, membutuhkan waktu lama hingga Indonesia bisa keluar dari krisis ekonomi itu. Rizal membandingkan sikap Malaysia yang menolak IMF dan mengeluarkan kebijakan ketat soal moneter. Hasilnya mereka dengan mudah keluar dari krisis.

Karena itu saat menjadi Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur, Rizal Ramli menolak secara tegas saran IMF. Menurutnya, cuma di era Gus Dur ada presiden tak menambah jumlah utang negara.

“Waktu saya masuk, minus 3 persen ekonominya. Kami putuskan tidak mengikuti kebijakan IMF, kita jalan sendiri dengan segala kontroversinya,” kata Rizal.

Dia mengaku bisa menarik nafas lega saat perekonomian Indonesia yang tadinya minus 3% dalam kurun waktu 2 tahun tumbuh menjadi 4,5%. “Mimpi buruk soal IMF itu masih kita ingat. Indonesia tak perlu bantuan IMF,” ungkap Rizal.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan Bank Dunia dan IMF senantiasa mendukung negara-negara di dunia dalam hal pengelolaan beban utang.

Pernyataan tersebut disampaikan Sri Mulyani dalam Pertemuan Musim Semi Dana Moneter Internasional-Kelompok Bank Dunia Tahun 2021. Pertemuan tersebut diselenggarakan secara daring pada 5-11 April 2021 lalu.

Agenda yang dibahas di dalam pertemuan tersebut berfokus pada topik pembangunan internasional, pembiayaan, pemulihan ekonomi, vaksin, dan perubahan iklim.

(***)

Kami Hadir di Google News