Berita

Budaya Tutur Masyarakat Kepulauan Mentawai Terancam Punah

105
×

Budaya Tutur Masyarakat Kepulauan Mentawai Terancam Punah

Sebarkan artikel ini
sikerei mentawai
Tiga sikerei sedang berkomunikasi. (ist)

MJNews.id – Budaya tutur di Kabupaten Kepulauan Mentawai terancam punah. Ini disebabkan generasi mudanya tidak tertarik menjadi sikerei

Selama ini, Sikerei sebagai pemimpin upacara adat, spiritual dan pengobatan tradisional, menggunakan budaya tutur dalam menjalankan peran dan fungsinya dalam masyarakat adat setempat.

“Di Mentawai hampir seluruh tradisi masyarakat lahir dari budaya tutur, seperti melakukan ritual,” ujar Zulfa M.Pd, M.Hum, Peneliti Kebudayaan Mentawai yang juga Dosen Prodi Pendidikan Sejarah STKIP PGRI Sumbar, di Padang, baru-baru ini.

Menurutnya, nenek moyang masyarakat Mentawai tidak memiliki budaya lisan, yang ada hanya budaya tutur. Tradisi lisan atau budaya tutur yang lahir dari adanya ritual-ritual, misalnya  upacara Punen Purut Uma, Lia Pulajagad.

Berbeda dengan budaya Minang, katanya, upacara-upacara adat Mentawai tidak memiliki tulisan dalam bentuk buku.”Mantra-mantra yang digunakan dalam ritual hanya dalam betuk turun-temurun dalam bentuk lisan,” jelas Zulfa.

Seorang peneliti dari  Australia, Robert Hendri, yang sudah menetap di Mentawai selama 10 tahun bersama keluarganya telah meneliti tentang bahasa dan kebudayaan di Mentawai khususnya di Pulau Siberut, dan hasilnya terbit satu kamus bahasa Siberut. 

Dari 43 desa di Mentawai hanya satu yang memiliki kamus bahasa Mentawai, yaitu bahasa Siberut.”Agar budaya tutur tetap berlanjud harus ada kamus bahasa Mentawai,” katanya.

Zulfa lebih jauh menjelaskan, dari 43 desa di Metawai hanya 8 desa yang memiliki budaya tutur, yaitu di bagian Pulau Siberut (utara, tengah, dan selatan). “Di mana para sikerei mempertahankan budaya tutur. Jika budaya tesebut tidak dilestarikan maka akan terjadi kepunahan. Untuk mempertahankan budaya tutur, maka harus ada generasi muda yang mau menggantikan sikerei,” katanya.

Zulfa melihat, generasi sekarang sudah tidak ada yang ingin mejadi sikerei, sebab banyaknya pantangan yang harus dihindari ketika ingin melakukkan ritual. “Hal tersebutlah yang membuat geerasi muda enggan untuk menjadi sikerei,” ungkapnya. 

Di Desa Matotonan, katanya, masih ada 47 orang sikerei hanya saja tidak semuanya mampu untuk melanjutkan budaya tutur atau lisan. Usia paling mudaasikerei berumur 58 tahun.”Jika 47 orang sikerei tesebut meninggal dan tidak ada yang meneruskan, maka budaya tutur tesebut akan hilang.”

Sehubungan dengan persoalan itu, Zulfa berharap Pemda setempat dan masyarakatnya mesti melestarikan budaya tutur agar tidak hilang di telan zaman. 

Menurutnya, ada beberapa festival yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat Mentawai tentang budaya tutur ini, seperti Di Mentawai ada Festifal Turuk Laggai, tarian tradisional yang disertai budaya tutur (mantra-mantra). Di samping itu perlunya ada penyusunan kamus bahasa Mentawai.

(sap/eds)

Kami Hadir di Google News