FeatureSumatera Barat

Dari Padi Lahir Beribu Tradisi dan Budaya Anak Nagari

101
×

Dari Padi Lahir Beribu Tradisi dan Budaya Anak Nagari

Sebarkan artikel ini
berlomba menanam padi sistem jarwo 21 di Nagari Tabek
Para petani saat berlomba menanam padi sistem jarwo 21 di Nagari Tabek, beberapa waktu lalu. (musriadi musanif)

MJNews.id – Padi. Tanaman jenis rumput itu tak asing lagi di mata dan telinga. Bulirnya, senantiasa dinanti. Tidak peduli pagi, siang atau pun malam. Dinihari pun, buah jerami itu juga dicari.

Kalau Anda melintasi jalan-jalan di Kabupaten Tanah Datar, sejauh mata memandang, yang nampak hanya tanaman padi di sawah. Ada yang sudah menguning. Masih hijau, dan bekas panenan.

Padi yang kemudian diolah menjadi beras, lalu ditanak hingga menjadi nasi, menjadi sumber utama kehidupan masyarakat di Luak Nan Tuo. Lebih 80 persen warga hidup dari bercocok tanam padi di sawah, pengusaha mesin gilingan padi (heler), toke padi, dan pedagang beras.

Di hampir seluruh kecamatan, yang terlihat adalah petani mengolah sawah, bercocok tanam padi. Kecuali di Kecamatan X Koto dan Salimpauang yang banyak warganya bertanam sayur mayur dan hortikultura lainnya. Tapi yang bersawah tetap saja ada.

Dari bercocok tanam padi di sawah itulah lahir ‘beribu’ tradisi dan budaya anak nagari. Di Kecamatan Pariangan, Limo Kaum, Rambatan, dan Sungai Tarab, bertanam padi melahirkan tradisi pacu jawi yang populer hingga ke mancanegara. Pacu jawi itu, kini sedang dilarang pemerintah karena dinilai rawan penularan Covid-19.

Menurut Pengurus Persatuan Olahraga Pacu Jawi (Porwi) Tanah Datar Khairul Fahmi Bagindo Sinaro alias Helmi Muna, pacu jawi itu diselenggarakan masyarakat, sebagai wujud syukur kepada Yang Maha Kuasa setelah musim panen padi di sawah berlalu.

Soal tradisi panen itu, di kalangan masyarakat Nagari Batu Taba, Kecamatan Batipuah Selatan, ada pula baronde, yakni tradisi memanen padi secara bergiliran, sebagai wujud dari kekompakan masyarakat saat melakukan aktivitas pertanian di satu hamparan sawah yang luas.

“Tradisi baronde itu patut pula kita syukuri. Ini warisan tradisi bertani sejak dulu. Masyarakat berharap, pertanian mereka menghasilkan padi yang bagus dan terbebas dari gangguan hama. Walaupun dalam mengolah sawah sudah menggunakan teknologi, peralatan pertanian, pestisida dan pupuk, tetapi tradisi baronde tetap dipelihara,” kata Walinagari Batutaba Destriyanto Bandaro Bungsu.

Bagi Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Batu Taba, Basrizal Dt. Pangulu Basa, bertani di sawah bukan hanya urusan masa lalu dan saat ini semata, tetapi merupakan urusan sepanjang waktu. Pandemi Covid-19, sebutnya, menjadi pembelajaran dan kesadaran bagi umat manusia, bertani dengan mengolah padi di sawah merupakan usaha utama di bidang pertanian yang menyelamatkan kehidupan.

Petani Batu Taba melakukan tanaman padi di sawah secara serentak dalam satu hamparan. Luasnya sekitar 80 hektare. Satu hektare bisa memperoleh 7,5 ton padi. Bahkan dalam kondisi tertentu, ada yang mencapai sepuluh ton.

Di Nagari Tanjuang Barulak, Kecamatan Tanjung Emas, para petani sudah menggunakan alat mesin pertanian (alsintan), sebagaimana juga ditemukan di sejumlah nagari lainnya. Mekanisasi pertanian itu, terbukti mampu meningkatkan pendapatan petani, karena terjadinya efisiensi dalam usaha tani.

“Upah panen dan pascapanen berbeda-beda setiap nagari. Ada dengan perhitungan satu banding sepuluh, satu banding lapan, dan satu banding tujuh. Jika penghitungannya satu banding sepuluh, itu artinya upah panen yang diberikan satu karung untuk setiap hasil sepuluh karung. Berarti pada tahapan ini, biaya produksi cukup besar, yakni sekitar 10 hingga 15 persen,” jelas Kepala Dinas Pertanian Yulfiardi,

Lalu kemudian, diperkenalkanlah kepada petani mesin perontok dan panenan padi (combine harvester). Akibatnya, kata dia, upah panen pun bisa ditekan. Ada pula penggunaan mesin bajak, alat tanam modern, alat panen, dan lain-lain.

Dengan menggunakan mesin perontok padi itu, untuk varietas padi IR 42 dan Kuriak Saruaso, panenan petani mencapai rata-rata hasil produksi 6,72 ton Gabah Kering Panen (GKP).

Di nagari ini, ada pula tradisi yang terlahir dari bercocok tanam padi di sawah, dan hingga kini tidak tergerus penggunaan alsintan, yakni tradisi bakawua-kawua. Maksudnya? Ini adalah tradisi budaya masyarakat tani sesudah panen padi di Jorong Balai Baru, Nagari Tanjuang Barulak.

Bercocok tanam padi di sawah-sawah rakyat Luak Nan Tuo yang paling fenomenal itu adalah padi salibu. Produksinya bisa mencapai sepuluh ton dalam satu hektare. Padi salibu banyak dipraktikkan masyarakat di Kecamatan Limo Kaum dan Pariangan.

“Sistem salibu terbukti mampu meningkatkan produksi padi petani. Biaya produksi bisa ditekan sehemat mungkin. Menariknya, teknologi salibu ketika dikombinasi dengan jajar legowo atau jarwo, hasil panenan bisa meningkat hingga empat ton dari hasil panenan biasa,” komentar seorang pejabat yang mengurusi persawahan tingkat di Pemprov Sumbar, beberapa waktu lalu.

Di tengah kehebatan pengelolaan pertanian di Tanah Datar, tentu ada pula berbagai persoalan, salah satunya adalah belum seimbangnya alokasi pupuk bersubsidi untuk petani dengan kebutuhan. Penyediaannya lebih sedikit dibanding keperluan.

Data November 2020 yang dibeberkan Kadis Pertanian Yulfiardi membuktikan, setiap tahun terjadi pengurangan jatah subsidi untuk pupuk. Tahun 2020, alokasi Tanah Datar jauh di bawah kebutuhan. Kebutuhan petani untuk pupuk urea mencapai 13.640 ton, tetapi alokasinya hanya 5.400 ton.

Kebutuhan pupuk ZA 5.108 ton sementara alokasi 1.300 ton, SP-36 dibutuhkan 7.147 ton tapi alokasi 1.559 ton, NPK dibutuhkan 14.510 ton sementara jatah hanya 5.748 ton, dan petroganik yang dibutuhkan petani sebanyak 9.564 ton, sedangkan alokasinya Cuma 1.389 ton.

Begitulah nasib jadi petani. Banyak bantuan, banyak subsidi, tetapi kemudian menyusut dan sulit didapat. Petani kerap jadi komoditas untuk kepentingan tertentu, termasuk urusan politik dan pemilihan kepala daerah. Agaknya, nasib petani tidak banyak berubah dari tahun ke tahun.

(musriadi musanif)

Kami Hadir di Google News