EkonomiHeadlineSumatera Barat

Sumbar-Riau Heboh Gegara Surat Kemendagri Soal PLTA Koto Panjang

97
×

Sumbar-Riau Heboh Gegara Surat Kemendagri Soal PLTA Koto Panjang

Sebarkan artikel ini
Sumbar-Riau Heboh Gegara Surat Kemendagri Soal PLTA Koto Panjang
PLTA Koto Panjang. (Ist)
mjnews.id – Kementerian Dalam Negeri, asal menulis saja sehingga dua provinsi bertetangga nan damai, kini ribut. Awal mulanya, sepucuk surat tertanggal 5 Mei 2020 yang ditujukan kepada GM PT PLN Sumatera Bagian Utara, tentang pajak air permukaan (PAP) PLTA Koto Panjang, harus dibayarkan ke Provinsi Riau.
Selama ini pajak waduk PLTA itu, dibayarkan kepada Riau dan Sumatera Barat (Sumbar), karena waduk memang berada di dua wilayah provinsi itu. Waduk dibangun dengan menenggelamkan 10 nagari/desa. Rinciannya Sumbar (dua) dan Riau (delapan). 
Desa/nagari itu: Tanjuang Balik, Tanjuang Pauh (Sumbar). Kemudian, Tanjuang Alai, Pulau Gadang, Pongkai, Muaro Mahek, Batu Bersurat, Muara Takus, Gunung Bungsu dan Koto Tuo di Kampar, Riau
Tak tahu kenapa Kemendagri bisa langsung-langsung saja berkirim surat ke GM PLN, yang semestinya ke direktur PLN. Surat itu bernomor 973/2164/Keuda yang ditandatangani Plt Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah, Dr Moch Ardan. 
Isinya yang memicu konflik ada pada point 3.a : DAS, hulu dan hilir dapat dipandang sebagai satu kesatuan sumber daya air, tetapi dalam konteks perpajakan, titik pajaknya adalah titik dimana air tersebut dimanfaatkan. Oleh PLN “Dimana air tersebut dimanfaatkan” jelaslah itu turib PLTA Koto Panjang berada. Jawabnya di Riau, maka pajak dibayar ke Riau.
Sengkarut
Direktur PLN Regional Bisnis Sumatera, Waluyo K, Minggu (2/7/2020) menyebutkan, PLN tidak bisa berbuat sendiri. “Kami mematuhi putusan pemerintah dalam hal ini, Kemendagri. Jika ada putusan lain, pasti akan kami ikuti,” katanya.
Di tempat terpisah, anggota DPR-RI Andre Rosiade, menyebutkan, ia juga telah bicara dengan Dirut PLN Zulkifli Zaini. Ia minta pada PLN untuk “tidak membayarkan apapun, sebelum masalah selesai.”
Menurut Andre, petinggi bangsa ini, jangan berpijak di atas karpet yang menutupi sejarah, apalagi pejabat kemendagri, sebab akan membuat sengkarut saja. “Makanya, jika menjadi pejabat, jangan asal buat surat, pelajari sejarah. Bagaimana waduk PLTA Koto Panjang itu bisa ada. Dirjen tidak tahu, berapa pengorbanan rakyat Sumbar untuk waduk itu. 
“Malu saya ada pejabat dengan sebuah tanda-tangan, merobek kedamaian dua provinsi yang satu sama lain bersaudara. Selain malu, sebenarnya juga marah,” kata dia.
Andre mendesak, Ketua DPRD Sumbar, Supardi untuk membuat surat protes dan segera menemui Mendagri Tito Karnavian.
Anggota Komisi VI DPR RI itu mempertanyakan hilangnya hak Sumbar PAP waduk Koto Panjang kepada direksi PT PLN. Setelah mengumpulkan masukan dan aspirasi tokoh, Sumbar sangat dirugikan dengan keputusan tersebut.
“Kami sudah banyak dapat masukan dan aspirasi dari tokoh-tokoh masyarakat Sumbar. Apalagi terkait “hilangnya” dua nagari untuk pembuatan waduk tersebut. Tentunya ini sangat merugikan masyarakat Sumbar,” kata ketua DPD Partai Gerindra Sumbar itu, Minggu (2/8/2020).
Sebelumnya PAP dari PT PLN Rp3,4 miliar, dibagi dua untuk Riau dan Sumbar. Surat Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri membuat pajak itu semuanya masuk ke Riau.
Anggota DPRD Sumbar tersentak dan tersinggung. Anggota dewan, Nurnas di berbagai media yang kemudian dilanjutkan rapat di Komisi III yang dipimpin Afrizal, menyimpulkan, DPRD Sumbar sangat menyesalkan pernyataan tersebut berasal dari anggota DPRD Riau yang seakan-akan melupakan sejarah pembangunan PLTA Koto Panjang.
“Melupakan pengorbanan rakyat Sumbar atas tenggelamnya dua nagari di Limapuluh Kota. Bagaimana masyarakat Sumbar berjuang sampai ke Jepang untuk mendapatkan dana pembangunan waduk tersebut,” kata Nurnas.
Tanggapan Gubernur
Atas surat Kemendagri itu, Gubernur Irwan Prayitno berkirim surat ke Kemenagri pada 30 Juli 2020. Surat bernomor 973/912.pjk/B.Keuda-2020 diberi judul, “Sengketa Pajak”. Isinya: Di tempat mana air berada dimanfaatkan, yang dierjemahkan sebagai turbin oleh PLN, maka menurut gubernur, harus diterjemahkan dimana waduk itu berada. Mana bisa hanya turbin, sebab turbin bisa bergerak kalaua da air. Air bisa bekerja kalaua da waduk. Waduk itu, sebagian ada di Sumbar. Itu pasti. Surat dua halaman itu, dilengkapi dokumen setebal gaban.
Lalu menyikapi persoalan adanya istilah “pitih sanang” dari PAP waduk Koto Panjang, Gubernur Irwan Prayitno menyatakan, istilah tersebut dirasa kurang tepat dan kurang bijak dilontarkan, karena sangat melukai hati rakyat Sumbar.
“Saya mengikuti dan selalu memonitor dinamika persoalan itu dan rasanya apa yang disampaikan oleh beberapa anggota DPRD Sumbar pantas didukung dan kami Pemerintah Provinsi Sumatera Barat telah meresponnya dan memprosesnya secara administratif ke pusat. Baik secara tertulis maupun upaya lainnya kita lakukan ke Kemendagri. Surat ke Kemendagri sudah kita proses dengan melampirkan semua dokumen pendukung sehingga PAP tidak hanya Riau yang mendapatkannya, tetapi juga kita Sumbar. Untuk itu kami harapkan masyarakat Sumbar baik di ranah dan di rantau, untuk sementara tenang dulu, percayakan saja kepada kami dan berikan kesempatan kepada kami bersama DPRD mengurusnya ke pemerintah pusat “ ujar Irwan Prayitno.
Yozawardi, Kepala Dinas Kehutanan Sumbar menyatakan, terdapat Daerah Tangkapan Air /DTA (Catcment Area) di Koto Panjang seluas 150.000 Ha yang menampung air hujan, menyimpan serta mengalirkannya ke anak-anak sungai, terus ke sungai dan bermuara ke Danau Koto Panjang. Artinya, sumber air waduk Koto Panjang berasal dari hutan-hutan yang berada di Sumatera Barat. 
“Catchment area Koto Panjang seluas 150.000 haktare yang menampung air hujan, menyimpan serta mengalirkannya ke anak-anak sungai, terus ke sungai dan bermuara ke Danau Koto Panjang, merupakan sumber utama penggerak turbin PLTA Koto Panjang yang berasal dari sungai-sungai dan hutan dari Sumatera Barat,” ungkap Yozawardi.
Yozawardi juga mengungkapkan, untuk memastikan hutan tetap terjaga di Catchment Area, Pemprov Sumbar melakukan kegiatan pengamanan dan perlindungan hutan pada wilayah tersebut serta melaksanakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) sebanyak lebih kurang Rp2 miliar/tahun di APBD Sumatera Barat.
Di lain pihak Maswar Dedi Kepala Dinas Penamaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu Sumatera Barat menyatakan, di lokasi daerah tangkapan air, dengan fungsi hutan lindung, karena kebutuhan pembangunan daerah dapat diajukan perubahan fungsi pada RTRW menjadi kawasan budidaya HP (hutan produksi) atau Area Penggunaan Lain (APL). Perubahan fungsi ini boleh dilakukan oleh Gubernur Sumbar, karena gubernur punya kewenangan untuk mengalihfungsikannya.
“Sebenarnya telah banyak investor bidang perkebunan yang tertarik berinvestasi di catcment area waduk Koto Panjang itu dan menjadikan kawasan tersebut menjadi hutan produksi atau area penggunaan lainnya. gubernur menolak. Ini karena ini menyangkut ketersediaan air untuk waduk Koto Panjang dan demi mempertimbangkan warga Riau, Gubernur Sumbar belum mau mengalihfungsikan hutan tersebut,” ujar Maswar Dedi.
Afrizal Ketua Komisi III DPRD Sumatera Barat menyatakan, “Ini bukan hanya persoalan jatah pembagian hasil pajak air permukaan yang tidak adil oleh Kemendagri, namun ini menyangkut harga diri rakyat Sumatera Barat yang dilecehkan.
“Dari pembagian pajak hanya dapat sekitar Rp1.5 miliar, namun demi khalayak umat, selalu pemprov sumbar menganggarkan tiap tahun lebih dari 2 miliar di APBD. Kalau soal untung rugi, rugi kami. Yang sebenarnya terima yang senang itu siapa? Kalau boleh saya nyatakan, pemprov Riau-lah yang banyak dapat untung dari adanya waduk PLTA Koto Panjang ini. Rakyat kami yang selalu tertimpa bencana banjir tiap tahun, namun kami tetap ikhlas menjaga persaudaraan dengan masyarakat Riau. Kedepan kami akan mempertimbangkan opsi pengalihan air sungai ketempat lain, jika persoalan ini tidak segera diselesaikan oleh Kemendagri dan permintaan maaf oknum anggota DPRD Riau yang bicara seperti itu,” tegas Afrizal yang diaminkan oleh anggota Komisi III DPRD Sumbar lainnya.
Sejarah Waduk
PLTA hebat ini diresmikan 1979, dengan menenggelamkan 11 desa/nagari dan gajah-gajah yang ada di sana dipindahkan. Dari 11 itu, dua nagari di Sumbar, Tanjuang Balik dan Tanjuang Pauh. Kedua nagari ini ditenggelamkan dan penduduknya dpindah ke Rimbo Data. 
Hulu Sungai ada di Sumbar. PLTA dibuat di Kampar dengan bentangan waduk. Bendungan ini, menggerakkan 3 turbin yang kesemuanya berkapasitas 114 MW. Tinggi bendunngan 58 meter. Lalu perlahan tapi pasti, sebanyak 26.444 rumah tenggelam, termasuk sawah, jembatan, masjid sekolah. Kebun rakyat seluas 9.000 hektare, jalan negara 25,43 Km dan jalan prpvinsi 27,2 kilometer.
Warga Tanjuang Balik, protes keras ke DPRD Sumbar lalu ke Komnas HAM dan ke Jepang, karena proyek ini didanai negara tersebut.
Kenapa? Nagari sudah terendam, ganti rugi tak diterima.
Waduk seluas 3.337 Km2 ini, terluas di Sumatera. Danau Singkarak, hanya 107,8 Km2. Danau Toba saja, 1.130 Km2. Waduk itu telah jadi danau terluas dan kini jadi masalah baru, gara-gara surat Kemendagri yang dibuat dengan ceroboh itu. (tim)

Kami Hadir di Google News