BudayaSumatera Barat

Indang Tuo Balai Belo Sarat dengan Pesan-pesan Religius

87
×

Indang Tuo Balai Belo Sarat dengan Pesan-pesan Religius

Sebarkan artikel ini
Penampilan Indang Tuo ditampilkan Sanggar Indang Tuo
Penampilan Indang Tuo ditampilkan Sanggar Indang Tuo di Balai Belo, Kecamatan Tanjung Raya, Minggu (23/8/2020). (Ist)

mjnews.id – Suara tepukkan rebana terdengar saling sahut-sahutan. Sementara, seorang yang disebut tukang dikia duduk tepat di belakang barisan pemain rebana. 

Ketua Sanggar Indang Tuo Balai Belo, Raismi Sutan Rajo Budi, Minggu (23/8/2020), menjelaskan, mereka duduk bersila saling berdekatan dengan jumlah 11 orang.

“Kesebelas masyarakat Jorong Balai Belo, Nagari Koto Kaciak, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, “katanya. 

Di nagari tersebut digelar mempertunjukkan aksi kesenian klasik Islami. Masyarakat setempat menyebutnya Indang Tuo. Indang Tuo merupakan indang yang mensiarkan ajaran agama Islam melalui kesenian rebana. 

“Indang ini semula berkembang di Aceh, kemudian menyebar hingga ke Jorong Balai Belo. Di Jorong Balai Belo, kesenian ini sudah ada sejak 1958,“ katanya. 

Sejarah Indang berawal ketika Rasulullah membuat permainan untuk 11 orang anak Bujaha atau Sudaki. Mereka anak-anak zalim yang dirangkul sehingga menjadi alim dan ulama besar.

“Mereka diberikan semacam permainan Ripa’i atau Rebana sebagai media untuk menarik secara berlahan, sehingga mau mengikuti ajaran Islam,” katanya. 

Kesebelas anak Yuzalim tersebut tumbuh besar menjadi ulama besar yang menyiarkan Agama Islam. Beberapa orang diantaranya, berhasil sampai ke Aceh dan memainkan kesenian tersebut untuk menjadi penarik masyarakat ikut dalam ajaran Islam.

“Perkembangan Islam di Aceh cukup pesat melalui Kesenian Indang tersebut. Hingga akhirnya sampai pula di Pariaman melalui Syekh Burhanuddin atau Abdulrahman,” katanya. 

Sedangkan bisa sampai ke Koto Kaciak ini, lanjutnya, melalui beberapa tokoh yang belajar ke Pariaman. Seperti Raba’in Sutan Parpatiah, Limun Sutan Majo Kayo, Saripudin, dan Sutan Pamenan. Saat itu sekitar tahun 1958.

“Kesenian ini dibawa beberapa Ulama bertarikat syatariah. Karena banyak yang belum paham, akhirnya beberapa orang di Koto Kaciak ini memutuskan mempelajari kesenian tersebut secara serius ke Pariaman,” katanya. 

Selanjutnya, dari segi dendang atau berzanji yang disampaikan melalui tiga tahapan, yakni dimulai dari gerak tangan pertanda sambah-manyambah.

Kemudian, dilanjutkan dengan dendang pembuka Indang Tuo, setelah itu barulah dilanjutkan pengkajian ajaran agama dengan cara berdendang lantunan irama klasik. Usai pengkajian ajaran agama dilanjutkan dengan Indang penutup.

Meskipun indang tersebut terbilang sangat singkat, hanya tiga sub bagian dendang saja, namun untuk penyampaiannya sangat panjang dan bisa memakan waktu berhari-hari untuk pengkajian agama.

Zaman dahulunya, belajar pengajian Indang tersebut biasanya didalami di surau. Namun, saat ini belajar dan berlatih indang sudah bisa melalui fasilitas umum, seperti memanfaatkan sekolah dan juga pesantren.

Saat ini, Indang Tuo dipersiapkan untuk regenerasi, sesuai permintaan masyarakat bahwa seni tradisi Indang Tuo sempat vakum puluhan tahun. Meskipun pernah vakum puluhan tahun, tetapi para senimannya masih banyak yang pandai memainkan kesenian tersebut.

Diakuinya, bahwa para pemain Indang Tuo tersebut banyak dari orang berusia tua. Sebab, Indang Tuo telah lama vakum dan baru kembali disemarakan, serta generasi muda masih banyak yang belum menguasai.

“Makanya, para pemain Indang Tuo tersebut dimainkan oleh orang tua,” katanya. 

Ada sebanyak 11 orang pemain Indang Tuo dan satu orang berzanji, badikia atau selawatan. Untuk pemain yang memainkan Indang Tuo harus dengan bilangan ganjil.

“Asalkan para pemainnya berjumlah dengan bilangan ganjil diperbolehkan. Baik itu sembilan orang, tujuh orang pemain, lima orang pemain tidak ada masalah dan dibolehkan dalam memainkan Indang Tuo. Tapi pada umumnya Indang Tuo banyak dimainkan 11 orang pemain,” katanya.

(sul)

Kami Hadir di Google News