Seni Budaya

Bersama Angku Yus Dt. Bandaro Bodi di Parit Malintang, Kembalikan Peran Tungku Tigo Sajarangan

75
×

Bersama Angku Yus Dt. Bandaro Bodi di Parit Malintang, Kembalikan Peran Tungku Tigo Sajarangan

Sebarkan artikel ini
Bersama Angku Yus Dt Bandaro Bodi
Usai acara niniak mamak, alim ulama dan cadiak pandai Nagari Parit Malintang foto bersama dengan Angku Yus Datuak Bandaro Bodi. (ist)

mjnews.id – Angku Yus Datuak Bandaro Bodi atau lebih dikenal Angku Yus Datuak Parpatiah Guguak, memenuhi undangan Pemerintahan Nagari Parit Malintang beserta niniak mamaknya. Pertemuan dengan tema Budaya Adat Salingka Nagari itu berlangsung di Kantor Walinagari Parit Malintang, Kamis (17/12/2020).

Kehadiran Angku Yus Datuak Bandaro Bodi didampingi istri tercinta beserta tiga kemenakannya F. Katik Rajo Mudo, R. Rajo Intan dan A. Datuak Basa. Selain belasan niniak mamak, Walinagari Parik Malintang, Syamsuardi SA dan Dt. Simajolelo selaku Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) turut duduk mendampingi tokoh budayawan asal Nagari Sungai Batang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam itu. Tidak luput pula seorang Babinsa dan Babinkamtipmas Parit Malintang, melengkapi unsur.

Diskusi itu salah satu cara niniak mamak dan Pemerintah Nagari Parit Malintang, menambah pengalaman, khasanah dan wawasan terkait budaya alam Minangkabau yang universal. Dengan adanya diskusi itu, diharapkan mendapatkan solusi penyelesaian berbagai persoalan. Memahami lebih mendalam latar belakang permasalahan sehingga mencerahkan. Terutama persoalan tantangan globalisasi perubahan zaman.

“Kegamangan saya sebagai narasumber kepada bapak-bapak selaku niniak mamak Parit Malintang ini adalah mengangkatnya tema Budaya Salingka Nagari. Karena saya tidak paham dengan adat salingka nagari Parit Malintang. Namun saya bisa menjelaskan adat sabatang panjang atau aturan umum yang dipakai masyarakat Minangkabau secara luas,” tutur Angku Yus Datuak Bandaro Bodi, saat membuka diskusi.

Budaya itu lebih luas, lanjut penasihat ninik mamak Nagari Sungai Batang itu, berasal dari dua kata yaitu budi dan daya. Mengandung unsur daya atau upaya sehingga menjadi manusia berbudi.

Filosofinya ada dua adat bila dikaji dari sisi ruang lingkupnya. Pertama adat nan sabatang panjang dan kedua adat sacupak payuang atau lebih dikenal adat salingka nagari yang juga merupakan adat babuhua sentak. 

Adat nan sabatang panjang adalah aturan-aturan umum di Minangkabau. Dan secara menyeluruh dipahami dan dipergunakan di seluruh masyarakat Minangkabau. Baik di rantau maupun di daerah asal.

Sementara, adat salingka nagari merupakan produk atau aturan lokal yang hanya dipakai dalam sebuah nagari saja. “Itu dibentuk berdasarkan kesepakatan niniak mamak dalam ruang lingkup bernagari,” ujarnya.

 

Budayawan yang populer dari rekaman kaset dan video gurindam “Pitaruah Ayah” untuk anak laki-laki dan perempuan ini juga menjelaskan, ada tiga hukum atau aturan yang berlaku yang wajib ditaati dalam setiap individu masyarakat Minangkabau. Pertama Hukum Undang-undang Dasar 1945 beserta hukum bernegara Republik Indonesia lainnya. Pelanggar hukum ini sangsinya adalah penjara.

Kedua, hukum beragama Islam sebagai aturan tetap kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pelanggar aturan ini adalah dosa. Pengikat seorang individu kepada Allah SWT.

Ketiga, baru Hukum Adat. Aturan yang berlaku dalam tatanan kehidupan masyarakat nan berbudaya. Hukuman pelanggar ini berupa sangsi sosial nan efek jera rasa malu. “Penanaman rasa malu adalah hakikat dari sangsi adat ini,” ungkap mantan pendiri dan pengelola studio rekaman Balairuang Produksi tersebut.

Lebih lanjut, ada tiga unsur penentu solusi akibat globalisasi yang mengkikis budaya alam Minangkabau ini. Kompak dan bersinerginya tigo tungku sajarangan, tigo tali sapilin. Yaitu, alim ulama, niniak mamak dan cadiak pandai.

Dalam hal tiga unsur ini terdiri dari Pemerintahan Nagari bersama Bamus, Pimpinan Kerapatan Adat Nagari (KAN) beserta niniak mamak lainnya dan serta alim ulama atau tokoh agama yang paling dituakan dalam nagari.

Dari sisi aturan dalam bernegara, Pemerintah Kenagarian juga memiliki aturan bernama Peraturan Nagari atau disingkat Perna. Aturan ini menjadi dasar dalam pemanfaatan Anggaran Dana Desa (Nagari) sebagai bentuk pembangunan sumber daya masyarakat yang berkebudayaan.

Dan Perna terbentuk melalui rapat musyawarah mufakat Bamus dengan Pemerintahan Nagari. Keputusan itu harus terlebih dahulu dijemput ke setiap komponen masyarakat. Keputusan berdasarkan hasil penghimpunan aspirasi seluruh kompunen masyarakat seperti dari pertemuan dengan walikorong, KAN yang mewakili aspirasi niniak mamak, Bundo Kanduang yang mewakili seluruh aspirasi organisasi perempuan di kenagarian. Serta seluruh aspirasi pemuda-pemudi dan parik paga nagari.

“Sudah saatnya tiga unsur tigo tungku sajarangan, tigo tali sapilin ini benar-benar kompak, seayun selangkah, sadanciang bak basi, saciok bak ayam. Jika ingin suatu nagari benar-benar beradat dan beragama. Harus berani terjun menampung aspirasi hingga ke akar-akar persoalan. Harus sampai ke jajaran masyarakat paling bawah.

Dan Perna itu harus komitmen dan konsisten ditegakkan sesuai falsafah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak bakato, adat mamakai. Jangan pula adat atau Perna itu bertentangan dengan syarak,” pungkasnya.

(dam/sul)

Kami Hadir di Google News