Nasional

KPA Respon Defisit Pangan dan Rencana Cetak Sawah Baru

81
×

KPA Respon Defisit Pangan dan Rencana Cetak Sawah Baru

Sebarkan artikel ini
KPA Respon Defisit Pangan dan Rencana Cetak Sawah Baru

mjnews.id – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) merespon depisit pangan dan rencana Pemerintah yang ingin mencetak sawah baru. Hal ini dikemukakan Presiden Jokowi melalui rapat terbatas terkait stok kebutuhan pangan pokok.

Presiden menyatakan stok sejumlah komoditas pangan domestik ternyata mengalami defisit di puluhan provinsi yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Bahan pokok yang mengalami defisit adalah beras, jagung, cabai besar, cabai rawit, bawang putih, bawang merah, telur ayam, dan gula pasir.

“Program cetak sawah baru menjadi jawaban pemerintah untuk mengatasi defisit pangan. Pandangan kami terhadap solusi ini bersifat bias,” kata Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika dalam rilisnya, Selasa (5/5/2020).

Ia mengatakan, pangan tidak hanya beras, dan yang mengalami defisit adalah ragam jenis pangan. Program ini juga adalah jawaban jangka menengah atas kekurangan stok pangan yang tengah terjadi saat ini.

“Artinya, cetak sawah baru tak bisa menjawab defisit secara cepat. Sebab, mencetak sawah baru secara massal, sejak tahap persiapan infrastruktur irigasi dan jalan yang memadai, pembukaan lahan (land clearing) hingga menanam dan memanen setidaknya membutuhkan waktu paling cepat 7 s/d 9 bulan,” tambahnya.

Menurutnya, seharusnya ada solusi untuk kebutuhan jangka pendek menjawab langsung defisit yang tengah dialami saat ini. Rencana program cetak sawah baru wajib diimbangi dengan usaha negara, mendorong adanya gerakan nasional menanam pangan di desa dan di kota, dengan pelibatan rakyat secara aktif untuk bergabung dalam gerakan ini.

“Caranya, pemerintah menyediakan tanah-tanah negara (PTPN, PERHUTANI), HTI, termasuk tanah terlantar, lahan kosong di desa dan kota bagi rakyat untuk mengembangkan sentra-sentra pertanian, peternakan dan kebun pangan,” ujarnya.

Khusus di kota didorong gerakan pertanian perkotaan (urban farming) secara luas bagi masyarakat miskin kota agar mengoptimalkan lahan kosong, tanah cadangan atau tanah penguasaan luas milik konglomerat dan perusahaan di kota.

Kemudian pemerintah mendukung penuh benih lokal, pupuk, teknologi pertanian, asistensi para ahli dan lulusan fakultas pertanian bagi petani, peladang, peternak, buruh tani, buruh kebun, buruh korban PHK massal pabrik-pabrik, dan masyarakat miskin kota.

Selanjutnya pemerintah membeli dengan harga yang baik (menguntungkan) ketika panen. Skema pemerintah membeli dengan harga yang baik ini tentu tidak boleh menjadikan harga pangan ini di pasaran menjadi mahal.

“Artinya, insentif pemerintah harus bekerja di masa pandemik agar harga pangan pokok hasil gerakan nasional ini bersifat ekonomis menjawab krisis yang sedang berlangsung. Dengan tanaman pangan campur, dalam jangka tiga bulan panen raya dapat dicapai untuk mengatasi defisit stok ragam pangan di atas,” ungkapnya.

Sementara rencana program cetak sawah, bisa dilakukan dengan prinsip-prinsip pokok agar jawaban atas defisit pangan ini tidak memanen problem baru, seperti konflik agraria dan perampasan tanah petani dan masyarakat adat. Syaratnya adalah berpusat pada pertanyaan pokok, yaitu; program cetak sawah ini untuk siapa, oleh siapa dan bagaimana akan dilakukan?

Harus dipastikan bahwa program cetak sawah baru ini diabdikan untuk dan oleh petani, rumah tangga petani, buruh tani, dan para peladang tradisional. Artinya kembali pada prinsip pelibatan aktif rakyat sebagai aktor utamanya. Bukan untuk membangun food estate (seperti MIFEE di Papua) atau rice estate oleh BUMN atau perusahaan swasta (agribisnis). (*/eds)

Kami Hadir di Google News