EkonomiPerbankan

Bank Indonesia Turunkan Suku Bunga Acuan, Terendah Sepanjang Sejarah

132
×

Bank Indonesia Turunkan Suku Bunga Acuan, Terendah Sepanjang Sejarah

Sebarkan artikel ini
Bank Indonesia Turunkan Suku Bunga Acuan, Terendah Sepanjang Sejarah
Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin menjadi 4 persen.
mjnews.id – Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada 15-16 Juli 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4,00%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 3,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 4,75%.
Keputusan ini konsisten dengan prakiraan inflasi yang tetap rendah, stabilitas eksternal yang terjaga dan sebagai langkah lanjutan untuk mendorong pemulihan ekonomi di masa pandemi COVID-19.
“Kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah sesuai nilai fundamental dan mekanisme pasar akan terus dilanjutkan, di tengah masih berlanjutnya ketidakpastian pasar keuangan global,” kata Kepala Departemen Komunikasi BI, Onny Widjanarko dalam rilisnya.
Ia mengatakan, untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional di masa pandemi COVID-19, BI lebih menekankan pada penguatan sinergi ekspansi moneter dengan akselerasi stimulus fiskal Pemerintah. Dalam hal ini, BI berkomitmen untuk melakukan pendanaan atas APBN 2020 melalui pembelian SBN dari pasar perdana secara terukur, baik sesuai mekanisme pasar maupun secara langsung sebagai bagian dari upaya untuk biaya kesehatan, perlindungan sosial, serta sektoral K/L dan Pemerintah Daerah guna mendukung program Pemulihan Ekonomi Nasional.
“Di samping itu, BI juga berbagi beban dengan Pemerintah untuk mempercepat pemulihan UMKM dan korporasi,” tambahnya.
BI juga terus memperkuat koordinasi langkah-langkah kebijakan dengan Pemerintah dan KSSK, untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, termasuk penyediaan pendanaan bagi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melalui mekanisme repo dan/atau pembelian SBN yang dimiliki LPS sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020.
BI juga terus mempercepat digitalisasi sistem pembayaran, untuk percepatan implementasi ekonomi dan keuangan digital sebagai bagian dari upaya pemulihan ekonomi melalui kolaborasi antara bank dan fintech untuk melebarkan akses UMKM dan masyarakat kepada layanan ekonomi dan keuangan.
Kontraksi perekonomian global berlanjut dan pemulihan ekonomi dunia lebih lama dari prakiraan sebelumnya. Penyebaran COVID-19 yang kembali meningkat di beberapa negara seperti Amerika Serikat (AS), Brazil, dan India, memengaruhi perkembangan ini.
Selain itu, mobilitas pelaku ekonomi yang belum kembali normal sejalan penerapan protokol kesehatan, turut menahan aktivitas ekonomi. Perkembangan ini menyebabkan efektivitas berbagai stimulus kebijakan yang ditempuh dalam mendorong pemulihan ekonomi di banyak negara maju dan negara berkembang termasuk Tiongkok, menjadi terbatas.
Sejumlah indikator ekonomi global menunjukkan permintaan yang lebih lemah, ekspektasi pelaku ekonomi yang masih rendah, serta permintaan ekspor yang tertahan sampai Juni 2020. Sejalan dengan permintaan global yang lebih lemah tersebut, volume perdagangan dan harga komoditas dunia juga lebih rendah dari perkiraan semula dan menurunkan tekanan inflasi global.
Lambatnya pemulihan ekonomi dunia serta kembali meningkatnya tensi geopolitik AS-China menaikkan ketidakpastian pasar keuangan global. Perkembangan ini akhirnya menahan berlanjutnya aliran modal ke negara berkembang dan kembali menekan nilai tukar negara berkembang, termasuk Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi nasional pada triwulan II 2020 diperkirakan mengalami kontraksi, dengan level terendah tercatat pada Mei 2020. Perkembangan ini dipengaruhi oleh kontraksi ekonomi domestik pada April-Mei 2020, sejalan dengan dampak kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mencegah penyebaran pandemi COVID-19 yang mengurangi aktivitas ekonomi.
Perkembangan terkini Juni 2020 menunjukkan perekonomian mulai membaik seiring relaksasi PSBB, meskipun belum kembali kepada level sebelum pandemi COVID-19. Beberapa indikator dini permintaan domestik menunjukkan perkembangan positif ini seperti tercermin pada penjualan ritel, Purchasing Manager Index, ekspektasi konsumen, dan berbagai indikator domestik lain, yang mulai meningkat.
Kinerja ekspor Juni 2020 pada beberapa komoditas seperti besi dan baja juga membaik seiring peningkatan permintaan dari China untuk proyek infrastruktur. Ke depan, akselerasi pemulihan ekonomi domestik diharapkan dapat membaik dengan kecepatan penyerapan stimulus fiskal, keberhasilan restrukturisasi kredit dan korporasi, pemanfaatan digitalisasi dalam kegiatan ekonomi, termasuk kegiatan UMKM, serta efektivitas implementasi protokol kesehatan COVID-19 di era kenormalan baru.
BI melalui bauran kebijakannya akan terus memperkuat sinergi dengan Pemerintah dan otoritas terkait agar berbagai kebijakan yang ditempuh semakin efektif mendorong pemulihan ekonomi.
Suku Bunga Terendah Sejak 2017
Seperti dilansir katadata.co.id, BI pada paruh pertama tahun ini atau Januari-Juni 2020 telah menurunkan suku bunga acuan hingga 75 basis poin atau 0,75%. Angka 4% pada bulan ini merupakan yang terendah sejak bank sentral menerapkan BI 7-Day Reverse Repo Rate pada empat tahun lalu. 
Berdasarkan grafik di bawah ini, angka suku bunga tersebut merupakan yang terendah sepanjang sejarah RI. Bahkan ketika krisis moneter 1998 terjadi, suku bunga Seritifkat Bank Indonesia dengan tenor satu bulan sempat mencapai 70%. Ekonomi domestik terkontraksi hingga lebih dari 13%, inflasi naik 70%, dan membuat nilai tukar terdepreasi hingga di atas Rp 15 ribu per dolar Amerika Serikat.
Suku Bunga Acuan Bank Indonesia %2528Jan 1998 Agt 2018%2529
Kondisi krisis itu berbeda dengan saat ini. Pasalnya, inflasi masih terkendali di bawah 3% dan ekonomi domestik masih tumbuh. Nilai tukar meskipun bergerak fluktuatik, namun pemicunya lebih karena faktor eksternal.
Posisi cadangan devisa pun dalam kondisi positif. BI terakhir melaporkan pada akhir Juni 2020 angkanya di US$ 131,7 miliar, naik dibandingkan bulan sebelumnya di US$ 130,5 miliar. Kenaikan terutama disebabkan penerbitan sukuk global pemerintah. Cadangan devisi ini tujuh kali lipat lebih besar dibandingkan pada saat krisis 1998 di US$ 18 miliar.  (*/eds)

Kami Hadir di Google News