Ekonomi

Menurut CORE, Ancaman Resesi Sebuah Kenormalan Baru

72
×

Menurut CORE, Ancaman Resesi Sebuah Kenormalan Baru

Sebarkan artikel ini
Menurut CORE, Ancaman Resesi Sebuah Kenormalan Baru
Anggota Komisi XI DPR RI, Misbakhun dan Direktur Risert CORE, Pieter Abdullah dalam sebuah diskusi. (Ist)
mjnews.id – Direktur Risert CORE, Pieter Abdullah berpendapat, Indonesia secara definisi dengan pertumbuhan ekonomi yang negatif tersebut sudah memasuki resesi. Tapi, esensinya bukan itu, karena semua negara mengalami itu akibat pandemi Covid-19 ini. 
“Jadi, ancaman resesi ini sebuah kenormalan baru, baik yang teknikal maupun yang sesungguhnya, dan kita tak perlu panik,” katanya.
Selain itu, masih menurut Pieter, resesi ini bukan disebabkan oleh kebijakan pemerintah, tapi kondisi yang sama dialami oleh semua negara di dunia akibat pandemi Covid-19. Hanya perlu respon kebijakan yang tepat, mengingat resesi itu ada dua macam; pertama seberapa dalam yang dialami bangsa Indonesia, dan kedua seberapa lama resesi itu.
“Kalau selama itu pemerintah bisa mempercepat recovery, memulihkan kembali ekonomi dan mengatasi wabah, maka tak akan terjadi resesi yang sesungguhnya,” jelas Pieter lagi.
Karena itu menurut Pieter, kondisi itu tak bisa diatasi dengan bansos, melainkan dengan membangkitkan daya beli –konsumsi masyarakat, menangani wabah dengan cepat– meningkatkan kedisiplinan protokol kesehatan agar Indonesia segera bebas dari wabah. 
Selama wabah ini ada, kata dia, maka konsumsi dan semua sektor akan mengalami penurunan, sehingga resesi akan lebih lama lagi. “Jadi, langkah-langkah pencegahan wabah harus lebih cepat, sehingga pemulihan ekonomi akan juga lebih cepat. Hal itu penting untuk menghindari ancaman gejolak sosial, meningkatnya kriminalitas dan sebagainya,” pungkasnya.
Sementara, Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Golkar (F-PG), Muhammad Misbakhun, melihat kebijakan pemerintah dalam menghadapi ancaman resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang melanda negeri ini dinilai sudah tepat. Hanya saja kebijakan itu, khususnya bantuan sosial (Bansos), bantuan langsung tunai (BLT) Rp600 ribu, dan sebagainya harus benar-benar tepat sasaran.
Penilaian ini disampaikannya saat menjadi narasumber diskusi Dialektika Demokrasi bertajuk “Ancaman Resesi Ekonomi dan Solusinya” di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (6/8/2020).
Mengapa? Karena menurut Misbakhun, bantuan itu sekaligus akan meningkatkan daya beli konsumsi masyarakat yang otomatis akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
“Secara teknikal dengan pertumbuhan di dua kwartal ini minus 5,32 persen ini sudah krisis. Harus ada upaya serius dalam meningkatkan daya beli – konsumsi rumah tangga yang mencapai 57 persen, karena konsumsi itu mempunyai kontribusi besar untuk pertumbuhan ekonomi nasional,” tegasnya.
Memang, diakui Misbakhun kalau semua aspek perekonomian mengalami kontraksi, penurunan terutama di dunia pariwisata, perusahaan makanan, minuman, pendidikan, pertambangan, jasa, kesehatan, perdagangan, konstruksi, transportasi, perhubungan dan sebagainya. Yang tumbuh hanya pertanian, pengadaan air, dan Infokom (informasi dan komunikasi). Tapi, yang perlu diselamatkan adalah kelompok menengah yang belum mapan, yang rentan agar tidak mudah terjadi kontraksi. Misalnya yang berpenghasilan Rp5 juta, Rp10juta, dan Rp15juta.
“Bagi mereka ini belum ada program yang dikonstribusikan oleh pemerintah melalui PEN tersebut. Jadi, program itu harus terarah sekaligus menjadi navigasi. Jangan program PEN malah untuk korporasi – BUMN Rp50 triliun, tapi seharusnya untuk UMKM,” ungkapnya. (*)

Kami Hadir di Google News