Nasional

Yusril Ihza Mahendra Tegaskan Mendagri Tak Bisa Copot Kepala Daerah

65
×

Yusril Ihza Mahendra Tegaskan Mendagri Tak Bisa Copot Kepala Daerah

Sebarkan artikel ini
yusril ihza mahendra
Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra.

mjnews.id – Instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Covid-19, yang salah satunya berisi sanksi pemberhentian bagi kepala daerah yang mengabaikan kewajibannya sebagai kepala daerah, dinilai ngawur.

Penilaian ini disampaikan pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra dalam keterangan tertulis yang dirilis kepada wartawan, Jumat (20/11/2020).

Dikatakan Yusril, Mendagri tidak bisa mencopot kepala daerah setelah diterbitkannya instruksi Penegakan Protokol Kesehatan dari Mendagri Nomor 6 Tahun 2020.

“Instruksi Presiden (Inpres) dan Instruksi Menteri maupun sejenisnya pada hakikatnya adalah perintah tertulis dari atasan kepada jajaran yang berada di bawahnya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu,” terangnya.

Dia menjelaskan proses pelaksanaan pemberhentian kepala daerah harus berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Yusril mengatakan UU Pemda menyerahkan pemilihan kepala daerah secara langsung kepada rakyat melalui pilkada yang dilaksanakan KPUD.

KPU, lanjut mantan Menteri Hukum dan HAM ini, merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang menetapkan pasangan mana sebagai pemenang dalam pilkada.

“Walau kadangkala KPU harus menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap apabila penetapan pemenang yang sebelumnya telah dilakukan dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi,” jelas Yusril.

Melanjutkan pernyataannya, Yusril mengatakan, pasangan manapun yang ditetapkan KPU sebagai pemenang, tidak dapat dipersoalkan dan tolak oleh pemerintah. Presiden atau Mendagri tinggal menerbitkan keputusan tentang pengesahan pasangan gubernur atau bupati/wali kota terpilih dan melantiknya.

“Dengan demikian, presiden tidaklah berwenang mengambil inisiatif memberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur. Begitu juga Mendagri, tidak berwenang mengambil prakarsa memberhentikan Bupati dan Walikota beserta wakilnya,” tegas dia.

Mantan kuasa hukum Jokowi di Pilpres 2019 ini menyampaikan, proses pemberhentian kepala daerah, termasuk dengan alasan melanggar Pasal 67 huruf b jo Pasal 78 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf d yakni tidak melaksanakan kewajiban untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan penegakan protokol kesehatan, tetap harus dilakukan melalui DPRD.

“Jika ada DPRD yang berpendapat demikian, mereka wajib memulainya dengan melakukan proses pemakzulan (impeachment),” ujarnya.

Yusril mengatakan, jika DPRD berpendapat cukup alasan bagi kepala daerah untuk dimakzulkan, maka pendapat DPRD tersebut wajib disampaikan kepada Mahkamah Agung (MA) untuk dinilai dan diputuskan. Namun untuk keadilan, maka kepala daerah yang akan dimakzulkan itu diberi kesempatan MA untuk membela diri.

“Jadi, proses pemakzulan itu akan memakan waktu lama, mungkin setahun bahkan lebih. Apa yang jelas bagi kita adalah presiden maupun Mendagri tidaklah berwenang memberhentikan atau ‘mencopot’ kepada daerah, karena kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat,” tegasnya lagi.

Kewenangan presiden dan Mendagri, menurut Yusril, hanyalah terbatas melakukan pemberhentian sementara tanpa proses pengusulan oleh DPRD dalam hal kepala daerah terjerat kasus hukum dengan ancaman pidana di atas lima tahun. Hal ini seperti dakwaan kasus korupsi, makar, terorisme, hingga kejahatan terhadap keamanan negara.

“Kalau dakwaan tidak terbukti dan kepala daerah tadi dibebaskan, maka selama masa jabatannya masih tersisa, presiden dan mendagri wajib memulihkan jabatan dan kedudukannya,” tutur Yusril.

Sementara pakar Otonomi Daerah (Otda), Prof. Djohermansyah Djohan juga mengatakan hal serupa. Kepada media di Jakarta, Jumat (20/11/2020) ia menegaskan, Mendagri tidak bisa main pecat saja, karena kepala daerah yang dipilih secara langsung masa jabatannya bersifat fix-term, tepat lima tahun.

Mendagri, kata Prof Djo sapaan akrab mantan Dirjen Otda Kemendagri itu, tidak semudah itu memecat kepala daerah karena prosesnya panjang, dan lagi pula, untuk memeriksa juga atas izin presiden.

“Jadi, semangatnya, tidak main pecat kepala daerah hasil pilihan rakyat, tapi beri pembinaan supaya mereka taat aturan. Pemecatan secara administrasi pemerintahan itu adalah last ressort,” katanya.

“Presiden maupun Mendagri tentu tidak akan mudah-mudah saja memberhentikan atau ‘mencopot’ kepala daerah, karena kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat,” pungkas penerima Bintang Jasa Utama dari Presiden RI tahun 1999 ini.

Menurut Prof Djo, ada prosedur dan tahapan-tahapan yang harus dilalui, misalnya dia melanggar sumpah jabatan atau dia tidak menaati Peraturan Perundang-undangan. Dalam pengertian dia tidak menjalankan kewajibannya sebagai kepala daerah. Dalam sumpah jabatan dia mengatakan akan melaksanakan UUD dan Undang-Undang dengan selurus-lurusnya.

“Persoalannya kalau pemberhentian kepala daerah itu memang ada tapi harus melalui prosedur administrasi pemerintahan. Misalnya, kalau dia tidak mentaati peraturan kepala daerah soal dilarang berkerumun, dia pergi berkerumun. Itu kan tidak mentaati pergubnya. Maka dilakukan teguran tertulis seperti dikatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dan yang mengeluarkan teguran tertulis kepada gubernur itu adalah presiden, bukan Mendagri. Begitu diatur di dalam UU Pemda kita,” pungkas Pj Gubernur Riau 2013-2014 ini.

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menerbitkan instruksi penegakkan protokol kesehatan kepada seluruh kepala daerah demi menekan penularan Covid-19. Instruksi ini sebagai respons pemerintah terkait adanya kerumunan akhir-akhir ini seperti acara di Petamburan, Jakarta Pusat yang dihadiri Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab.

Terkait kerumunan itu, Gubernur DKI Anies Baswedan pun diperiksa polisi. Begitupun Wakil Gubernur DKI Ahmad Riza Patria. Anies sudah menjalani pemeriksaan pada Selasa (17/11).

“Saya sampaikan kepada gubernur, bupati, dan walikota untuk mengindahkan instruksi ini, karena ada risiko menurut UU. Kalau UU dilanggar dapat dilakukan pemberhentian,” ujar Tito Karnavian.

(zul)

Kami Hadir di Google News