Opini

Padi Masak Jaguang Maupiah Taranak Bakambang Biak di Masa Pandemi

266
×

Padi Masak Jaguang Maupiah Taranak Bakambang Biak di Masa Pandemi

Sebarkan artikel ini
Oleh: Obral Caniago/Journalist
MJNews.id – Padi masak jaguang maupiah taranak bakambang biak, artinya, seorang petani sukses di zaman tempoe doeloe. 
Seorang petani yang berpandai-pandai memanfaatkan lahan atau areal pertanian yang dimilikinya.
Lahan pertanian yang bertanah lembab atau tanah basah bisa ditanami jenis komoditi padi dan sayuran.
Judul sengaja dibikin demikian bukan berarti kita kembali ke masa lalu, tetapi yang bermakna di masa lalu tentunya dijadikan contoh dan perumpamaan. Alam takambang jadi guru, bukan pula mencontoh pada dasarnya meniru. Tetapi ini semisalnya, saja. 
Sedangkan, jaguang maupiah adalah komoditi tanaman buah jagung yang bisa ditanam di tanah kering. Maupiah jagung yang telah bisa dipanen sebagai pertanda kulit kelopah jaguang sudah terlihat seperti upiah pinang tua. 
Dan, taranak (ternak) bakambang biak (berkembang biak). Jenis ternak kerbau, sapi, kambing, ayam, dan itik. Jenis ternak yang dapat dipelihara di lahan tanah basah dan di lahan tanah kering.
Ini sedikit penjelasan agar sama dapat dimaknai. Tetapi tujuan bukan menjelaskan pengertian dalam tulisan ini melainkan pada arah dan tujuannya bermakna kiasan dan perumpamaan saja. 
Istilah di atas menggambarkan petani sukses zaman dahulu sehingga kebutuhan dalam menghidupi keluarganya tak tergerus oleh situasi ekonomi. Karena hidup dalam hitungan satu tahun masehi selama 12 bulan. 
Pada hakekatnya, di saat panen padi dan jagung akan dapat memenuhi kebutuhan bahan pangan keluarga.
Sedangkan taranak bakambang biak akan dapat memenuhi kebutuhan keluarga lewat hasil ternak yang dijual buat kebutuhan sandang sehingga akan kebutuhan primer dan sekunder pun dapat pula dilengkapi dari masing-masing kelebihan dari kebutuhan hidup sehari hari keluarga. 
Penghasilan dari padi masak jagung maupiah taranak bakambang biak inilah masing-masing sisa dari kebutuhan keluarga mampu menopang kebutuhan keluarga tanpa berkekurangan dan tak terhutang. 
Sekarang masa pandemi bukanlah jadi alasan untuk bersikap pesimis melainkan harus semakin optimis. 
Pada dasarnya, dalam kebutuhan sehari-hari keluarga secara finansial penghasilan dalam satu kepala keluarga tersedot untuk anggaran rumah tangga. Satu hari penghasilan bisa habis mencapai 80 sampai 90 persen perharinya. Jika ini masih bisa tersisa dalam satu hari sebanyak 10 persen lebih, masih untung. Tetapi bagi kepala keluarga ada pula berpenghasilan buntung atau tak tercukupi untuk membeli bahan dapur buat kebutuhan konsumsi sehari hari. 
Anggaran penghasilan satu hari bisa disedot  buat beli sayur mayur, cabe, bawang, beras, minyak goreng, gas, dan air galon serta yang lainnya. Pokoknya segala kompleksitas sampai masakan dari dapur sampai ke meja makan dalam keluarga. Nyaris semua penghasilan dalam satu hari bagi satu kepala keluarga habis buat satu hidangan anak dan istri di masa pandemi ini. 
Namun bagi pemangku kebijakan pemerintah dari segala jenis bantuan pada rakyat lewat alat tukar yang bernama uang rupiah. Pemerintah hanya dapat memberikan bantuan ibarat buat pembeli mata pancing, bukanlah buat pembeli umpan (perumpaan).
Namun, mata pancing akan berbuah ikan melalui kail yang dibentuk. Itulah tugas pemerintah atas semampunya dari keuangan anggaran negara. Pemerintah menyalurkan bantuan pada rakyat yang membutuhkan ibarat manyauak aie taganang (menimba satu telaga) lama kelamaan akan kering.
Sudah kurang lebih 1 tahun masa pandemi terlewati, namun buat kebutuhan perut harus tetap terisi. 
Dulu, asap pabrik mengepul, sekarang asap kehidupan itu tak lagi membubung tinggi ke langit hijau. 
Dulu roda berputar terus di atas, sekarang roda sedang di bawah. 
Dulu, bisa tersenyum manis, sekarang senyum itu telah pahit. 
Dulu, basa-basi bisa lewat ngumpul, ada saja rezeki melalui informasi, sekarang berkumpul akan kena denda sanksi berkerumun. 
Dari semua itu, berakibatnya pada penurunan penghasilan bagi kepala keluarga. Kehidupan harus dilewati. Kebutuhan akan konsumsi keluarga menuntut untuk bersabar. Sedangkan yang paling tergerus itu adalah bahan pokok yang diprosesi dari dapur untuk sampai ke meja makan yang dihidangkan. 
Lalu, bagaimana solusi di masa pandemi?
Semua lapisan kehidupan sesuai posisi dan jabatan menurut versinya, agar dapat mengajak semua pihak kembalilah jadi “petani” supaya harga cabai merah, dan cabe rawit dengan harga terjangkau. 
Sayur mayur tak dibeli lagi, kembalilah tanami lahan pertanian yang dimiliki. Dengan menanam cabe puluhan batang saja, uang untuk kebutuhan dapur akan bisa tercukupi. 
Sedangkan tanggungjawab pemangku kebijakan yang bercokol punya jabatan dipemerintahan setidaknya dapat mensuport petani lewat sugesti. Sehingga rakyat berstatus petani tak beli lagi bahan dapur karena sudah ada dalam pekarangan sendiri. 
Selama pandemi Presiden RI berharap pada Polri dan TNI supaya penduduk yang memiliki lahan pertanian mau menggarap arealnya. 
Di negeri yang agraris ini akan terasa aneh bin ajaib jika kehidupan penduduknya mengeluhkan bahan pangan buat kebutuhan dapur. 
Jika diamati sekaitan tentang fenomena ini, budaya penduduk memang berbeda di masing masing daerah. Lain lubuk lain ikan. Lain adat berlainan pula cakrawala berpikir masyarakatnya. 
Ada budaya penduduk yang lebih senang urban ke kota. Setiap generasi muda yang mulai menginjak usia remaja, sudah mulai disuguhi pantun oleh tetua di kampungnya. 
Pantun sugesti dan pantun cemeti untuk melecut generasi supaya bisa hidup cepat mandiri. 
Karatau madang di hulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, kok di kampuang paguno balun. Sebuah pantun logat daerah ini, sugesti untuk remaja terpaksa membungkus pakaian untuk berangkat merantau ke kota. Karena kehidupan di perkampungan penuh keterbatasan. 
Tetapi itu buat generasi zaman dahulu. Sekarang kemajuan sumber perekonomian di pedesaan sudah sama pesatnya dengan perkembangan perekonomian di perkotaan. 
Tiliklah ke desa, sudah berapakah harga satu tandan buah pisang yang dibeli oleh toke yang dijemput langsung ke kampung kampung, karena nyaris pelosok desa jalan telah dapat dilalui kenderaan roda dua dan mobil. 
Semua jenis komoditi yang dihasilkan petani bernilai tinggi secara finansial dengan harga komoditi yang terbilang tinggi. Dengan kaitan ini kenapa harus malas dan malu jadi petani jika memang memiliki lahan pertanian. 
Namun, akibat generasi muda suka merantau ke kota. Lahan pertanian yang dimiliki orangtuanya terlantar saja. Orangtua yang dulu kuat tenaganya, sekarang telah tua renta. Lahan pertanian yang ada, dulu bisa menghidupi satu kepala keluarga. 
Sekarang, areal pertanian itu telah berubah menjadi rimba. Sedangkan orangtua hanya menatapnya, karena tak lagi bertenaga. Kulit telah layu. Pandangan mata telah kabur. Berjalan kaki sudah sering hampir tersungkur. Namun, asap dapur harus tetap mengepul.
Terkait ini, di masa pandemi, pemerintah lewat Kementerian terkaitnya, harus bergegas lagi guna mensugesti petani. 
Lahan tidur yang dimiliki masyarakat agar dapat di sugesti oleh TNI dan Polri. Hendaknya, semakin dapat dipungsikan Bhabin Khantibmas dan Bhabinsa dari (TNI dan Polri) guna mensugesti petani. 
Harapan dalam pengamatan ini.
Berapa luasnya lahan pertanian terlantar akibat dari tradisi penduduknya suka merantau. Sedangkan yang tinggal di kampung lebih banyak berusia tua. 
Setidaknya, TNI dan Polri melalui Babinsa dan Babin Kamtibmas bisa menggemburkan lahan agraria yang dimiliki petani sebagai langkah untuk mensugesti sehingga petani yang tak bertenaga ini bisa bercocok tanam kembali. 
Jika ada program pemerintah untuk menuju harga bahan pangan dengan harga yang lebih murah, rakyat tak akan mengeluh dan tak pesimis. Wabah Covid-19, tak patutlah jadi tuduhan sebagai akibat terciptanya kemiskinan. Negeri yang agraris hendaknya dapat menjadikan masyarakat petani hidup tersenyum dengan hasil panenannya. 
Seyogyanya penduduk juga perlu merobah sikap agar seayun dan seiring dengan program dan yang dicanangkan pemerintah. Sekarang saatnya kita menuju vaksinasi buat kekebalan tubuh. Dalam tubuh yang kuat dan sehat rezeki akan mengalir lewat usahanya sebagai petani. 
Di masa pandemi Covid-19 ini, rakyat tak perlu sungkan-sungkan mengikuti protokol kesehatan. 
Jika langkah rakyat telah seayun dengan program pemerintah, gairah ekonomi akan menyusul. Akibatnya, tak ada lagi rakyat yang kena sanksi. Semua jenis usaha telah bisa berjalan dengan semestinya. 
Asap pabrik kembali bisa mengepul. Roda kehidupan kembali kencang berputar. Semua akan kebutuhan bahan pangan kembali bersemi. Hasil produksi dengan siklus ekonomi menjadi saling mengisi. 
Namun, untuk mencapai kesataraan antara kebutuhan dengan hasil produksi, kuncinya ada di tangan petani. Petani menjadi tumpuan harapan akan kebutuhan bahan pangan bagi penduduk yang hidup di perkotaan.
Dalam tulisan ini jika diamati, TNI dan Polri telah sharing dengan petani. Dari Maret tahun 2019 lalu virus Covid-19 telah menggerogoti laju ekonomi. Banyak usaha yang terhenti ulah wabah virus Corona. TNI dan Polri terus berbhakti guna mensugesti petani. 
Tersebut daerah Sumatera Barat (Sumbar)  dalam kabar. Dibaca di koran dan tayangan berita dari beragam tulisan media online, didengar dari radio, ditonton dari televisi. TNI dan Polri tersebut sebagai penggiat petani. 
Masyarakat dan rakyat diminta untuk dimengerti. Tujuan dari TNI dan Polri mensugesti petani agar senantiasa menggeluti profesi kembali menjadi petani. 
Karenanya, petani takkan rugi. Harga segala komoditi keuntungan dapat jadi investasi. Kesetaraan harga komoditi sehingga lahan pertanian akan dapat jadi andalan untuk hidup mandiri. 
Ayo petani, saatnya untuk berlari kencang. Giatkan opsi budaya hidup bertani. 
Solusi tak datang sendiri. Kecuali dengan ide cemerlang dan berpantang surut ke belakang. Sejengkal tanah sangat berarti. Pungsikan lahan, senangi tumbuh-tumbuhan sehingga wabah pandemi akan pergi segera berangkat dari negeri ini. 
Banyak pepatah yang berkalimat slogan untuk sugesti. Sekali layar terkembang surut berpantang. Kalau bukan sekarang trus kapan lagi. Patah tumbuh hilang berganti. Bersatu kita teguh, bercerai kita rujuk lagi. 
Galang kekuatan petani dengan kelompok tani. Gelorakan koperasi. Bank ada ada di sisi petani. Berjihadlah untuk mengolah sawah dan ladang sehingga rezeki akan datang. Tak ada kata terlambat karena kehidupan bak roda pedati. Kadang di atas, kadang di bawah.
Saatnya petani gembira mengikuti program giat TNI dan Polri. Maka hiduplah petani dan jayalah petani.
Penulis telah menjadi wartawan sebagai anggota PWI dari zaman orde baru. Sampai sekarang penulis terus aktif menekuni profesi journalist menuliskan berita di berbagai media cetak sebelumnya, dan sekarang masih ikut menulis di ragam media online.
 
(*)

Kami Hadir di Google News