FeaturePendidikan

Cerita Para Pendamping Pembelajaran Jarak Jauh yang Terlupakan

91
×

Cerita Para Pendamping Pembelajaran Jarak Jauh yang Terlupakan

Sebarkan artikel ini
ilustrasi belajar di rumah
Ilustrasi. Belajar di rumah.

mjnews.id – Peringatan Hari Guru Nasional pada 25 November lalu jelas terasa berbeda. Pada musim wabah begini, tidak ada seremoni di halaman sekolah maupun di kelas-kelas. Tapi ucapan selamat sekaligus terima kasih ditujukan kepada para guru, dosen, staf pengajar, kepala sekolah hingga wali kelas, cukup ramai bertebaran di media sosial.

Namun, di antara riuh ucapan itu, sepertinya ada sosok-sosok yang terlupakan. Mereka ada dan menjadi mata rantai dalam aliran pengetahuan dari guru di sekolah kepada murid-muridnya, terutama pada masa pandemi. Tapi mungkin, keberadaan mereka dianggap biasa saja. Mereka penting, tapi mungkin juga dianggap tidak begitu penting. Merekalah para pendamping Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

Sejak Covid-19 merebak, pemerintah menutup sekolah-sekolah. Proses belajar mengajar dialihkan dari ruang kelas ke rumah. Ilmu-ilmu pengetahuan ditransfer dalam sistem jarak jauh dengan sebutan PJJ. Bagi yang tinggal di perkotaan dengan akses internet dan perangkat memadai, meski tidak seluruhnya seperti itu, PJJ tidak jadi soal.

Tapi tentu kabar tentang pencurian laptop hingga anak-anak yang harus kerja demi kilobyte kuota untuk bersekolah, masih segar dalam ingatan. Saya akan bercerita tentang bagaimana seorang pendamping PJJ di pedesaan menjalankan fungsinya, sehingga kasus-kasus semacam itu tidak terjadi.

Pendamping PJJ merupakan orangtua atau wali murid yang bertugas mendampingi, memantau, mengawasi murid yang belajar di rumah. Ketika guru berada jauh dari jangkauan murid dan murid (terutama tingkat SD ke bawah) belum memiliki kehendak yang kuat untuk menerima materi pelajaran dari guru, maka saat itulah pendamping PJJ harus beraksi.

Kepada saya, seorang pendamping PJJ yang tinggal di sebuah desa di Kabupaten Malang, Jawa Timur, mengisahkan hari-harinya selama kurang lebih tujuh bulan belakangan ini. Ia adalah ibu dua orang anak, satu duduk di kelas VI SD, satu lagi murid TK. Ia bekerja sebagai karyawan toko yang hanya tutup hari Minggu. Wali kelas SD tempat anaknya bersekolah menunjuk dia sebagai koordinator salah satu kelompok belajar di sekolah anaknya.

PJJ di tempat itu dijalankan secara berkelompok. Satu kelompok terdiri dari 5-6 murid. Setiap hari, di rumahnya, dia mendampingi 6 murid kelompok si anak. Cara seperti ini juga saya dapati di desa lain di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Alasannya sama, karena tidak setiap anak memiliki gawai untuk dapat mengakses materi PJJ. Membeli perangkat, bukanlah solusi yang bisa dijangkau di masa ekonomi sedang lesu.

Sebenarnya ada handphone di rumah mereka, tapi dibawa orangtuanya pergi kerja. Ya kami tetap harus kerja, memangnya mau makan apa? begitu si pendamping PJJ itu bercerita. Beruntung, persoalan kekurangan paket data untuk mengakses internet sudah mendapat jalan keluar dari Kementerian Pendidikan. Meskipun untuk kebutuhan komunikasi dirinya sendiri dengan guru, ia harus mengeluarkan biaya pulsa dari kantongnya sendiri.

Setiap pagi, koordinator pendamping PJJ membuka kelas sesuai ketentuan dari sekolah, di antaranya; mematuhi protokol kesehatan, menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan berdoa sebelum belajar. Lalu, pendamping akan mendapat pesan dari guru. Jika si guru perlu untuk menjelaskan materi untuk dipelajari siswa, maka si pendamping harus membuka kontak video dengan guru dan menyodorkannya ke depan murid-murid dalam kelompok itu.

Pendamping akan menjelaskan lebih lanjut, jika murid tidak mengerti. Dengan begitu, ia harus meluangkan waktu untuk juga turut memahami materi pelajaran yang diberikan guru. Ini pekerjaan tambahan baginya yang tidak mudah. Ia harus melakukannya di sela pekerjaannya sebagai penjaga toko dan kesehariannya mengurus rumah tangga.

Bukan perkara mudah pula mendampingi murid-murid SD, anak-anak yang masih gemar-gemarnya bermain. Lengah sedikit, bukan tugas dari guru yang dikerjakan, tapi malah sibuk selesaikan tugas-tugas sebagai crewmate di Among Us. Lain waktu, ditinggal pendamping kelarkan masakan, mereka janjian nge-push rank di Mobile Legends. Pendamping meleng sedikit matikan keran air cucian, sudah ada saja suara tembak menembak. Lagi nyerang! kata si pendamping menirukan mereka.

Tidak cukup sampai memantau pengerjaan tugas-tugas saja, pendamping juga harus menjadi pengawas jika guru atau sekolah mengadakan ulangan atau ujian untuk evaluasi pembelajaran. Tugas pendampingan begini seharusnya bergantian dengan orangtua murid lainnya. Tapi mau gimana? Ada yang setelah subuh harus sudah berangkat kerja di pabrik, ada yang harus ke sawah. Saya sendiri harus mengundur jam berangkat kerja, tutur si pendamping melanjutkan ceritanya.

Setiap sekali sepekan, pendamping-pendamping PJJ akan menyetorkan hasil pengerjaan tugas murid-murid ke sekolah. Jadinya, intensitas murid-murid berinteraksi dengan pendamping jauh lebih sering ketimbang dengan guru mereka. Suatu waktu, kawan saya itu lewat pinggir sawah di mana murid-murid kelompoknya sedang main layang-layang. Ia ditanya-tanya oleh kelompok murid, apa saja tugas untuk besok. Hahaha.. Ya saya suruh saja tanya gurunya, jawab dia.

Cerita tentang pendamping PJJ di Kabupaten Malang itu bisa saja tidak terjadi di daerah lain, atau pada pendamping PJJ untuk jenjang pendidikan lain. Tapi saya kira tidak sedikit pula yang mengalami hal serupa. Maka sepertinya tidak berlebihan jika memberi ucapan terima kasih juga kepada pada pendamping PJJ. Meskipun secara formal mereka tidak menyandang status guru, meskipun sedikit terlambat.

(vivanews)

Kami Hadir di Google News