Opini

Panen Kerapu di Masa Pandemi

61
×

Panen Kerapu di Masa Pandemi

Sebarkan artikel ini
irwan prayitno

Oleh: Irwan Prayitno

mjnews.id – Pada 27 November 2020, kami bersama Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sumbar, TNI Angkatan Laut, rombongan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, melakukan panen ikan kerapu sekaligus melepas ekspor ikan kerapu ke Hongkong. Lokasinya di kawasan Mandeh. Ini merupakan kali pertama ekspor kerapu selama masa pandemi. Di awal pandemi, ekspor belum bisa dilakukan karena negara tujuan ekspor menutup diri.

Kami mendukung budi daya dan ekspor kerapu yang dilakukan oleh nelayan bekerja sama dengan pengusaha. Karena memberikan manfaat ekonomi kepada para nelayan. Dengan masih tingginya kebutuhan kerapu di negara tujuan ekspor, maka pengusaha perlu memperbanyak nelayan yang bersedia untuk melakukan budi daya kerapu. Sehingga terjalin kerja sama yang saling menguntungkan. Dan semakin banyak nelayan yang terangkat ekonominya.

Cara kerja dari budi daya ikan kerapu adalah, nelayan melakukan budi daya ikan kerapu di laut, dengan menggunakan keramba. Nelayan memberikan pakan untuk kerapu, dan dibesarkan hingga ukuran tertentu yang disyaratkan agar bisa diekspor. Setelah tercapai total 15 ton yang merupakan syarat minimal, maka kerapu dikirim ke negara tujuan. Kali ini, pengiriman kerapu bersumber dari budi daya yang dilakukan oleh nelayan di Mentawai, Painan dan Mandeh. 

Ikan kerapu di negara tujuan ekspor seperti Hongkong dan China merupakan makanan favorit. Bahkan punya khasiat tertentu. Sehingga bisa dijual mahal dan layak untuk diekspor. Dengan harga yang mahal, maka bisa memberikan keuntungan kepada nelayan dan juga eksportir. Selain itu, negara pun menerima pemasukan berupa pajak ekspor. 

Budi daya kerapu membutuhkan modal dan sarana prasarana. Hal tersebut bisa tertutupi dengan harga jual yang bagus. Demikian juga pengusaha yang melakukan ekspor, seluruh biaya operasional bisa tertutupi dari penjualan ke negara tujuan. 

Budi daya kerapu belum lama dikenal oleh nelayan. Berbeda dengan kebiasaan harian nelayan yang mencari ikan dengan pergi ke laut dan menangkap ikan. Ikan yang ditangkap sudah ada dan tidak perlu dibudidayakan seperti kerapu. Jika cuaca bagus, maka ikan bisa ditangkap. Jika cuaca tidak bagus, nelayan tidak bisa melaut. Uang yang diperoleh hanya ketika bisa melaut. Jika tidak melaut maka tidak dapat uang. Jika cuaca tidak bagus selama seminggu, maka seminggu tidak dapat uang.

Berbeda dengan melakukan budi daya kerapu yang membutuhkan waktu cukup lama dari awal membesarkan hingga bisa dijual. Setelah sekian bulan baru uang bisa didapat. Dalam melakukan kegiatan budi daya, nelayan juga mendapatkan ilmu bagaimana melakukan budi daya yang baik. Sedangkan kegiatan menangkap ikan di laut yang sudah dilakukan setiap hari, tidak membutuhkan ilmu khusus. 

Jika nelayan setiap hari bisa mendapat uang dari menangkap ikan di laut, maka petani tidak bisa seperti itu. Petani yang bersawah, berkebun, beternak, membutuhkan waktu 3,5 hingga 4 bulan untuk bisa memanen. Baru mendapatkan penghasilan. Petani yang baru mendapat uang setelah panen akan menyimpan uangnya sebagai tabungan.

Dengan melakukan budi daya kerapu, nelayan mengalami perubahan karakter seperti halnya petani. Karena selama melakukan kegiatan budi daya beberapa bulan, nelayan tidak dapat penghasilan. Mereka perlu menabung setelah mendapatkan penghasilan dari menjual kerapu. Karena setelah kerapu dijual, mereka akan kembali melewati waktu beberapa bulan melakukan budi daya kerapu. Perubahan karakter ini menjadi sebuah keniscayaan agar mereka nantinya bisa menyiapkan dana untuk berbagai keperluan, seperti keperluan keluarga berupa pendidikan anak dan lainnya. 

Tapi selain melakukan kegiatan budi daya kerapu, kegiatan penangkapan ikan yang sudah sejak lama dilakukan nelayan masih bisa dikerjakan setiap hari. Nelayan jadi memiliki dua kegiatan, yaitu budi daya kerapu dan menangkap ikan di laut. Ada yang membutuhkan waktu agar bisa mendapatkan uang, ada juga yang tidak perlu waktu lama sudah bisa mendapatkan uang. Keduanya bisa saling melengkapi.

 Sementara itu, jika berbicara tentang budi daya ikan di keramba, ternyata ada perbedaan antara keramba di laut dengan keramba di danau. Makanan ikan di danau yang menumpuk jadi sedimen yang mengandung racun, suatu saat akibat gelombang yang ada di danau bisa bergerak ke atas menyebabkan matinya ikan di keramba. Di samping itu air di danau cenderung tenang, tidak bergerak, sehingga bisa menyebabkan kematian ikan akibat pencemaran. Berbeda dengan keramba di laut, yang airnya terus bergerak sehingga tidak ada ikan yang tercemar. 

Jika dikaitkan dengan masalah lingkungan, keramba di danau ternyata menyebabkan pencemaran yang berasal dari pakan. Demikian juga dengan keramba di laut, perlu diatur agar tidak mengganggu lingkungan. Namun keramba di laut jauh berbeda dengan keramba di danau terkait penanganan masalah lingkungan. 

Berhasilnya melakukan ekspor kerapu di masa pandemi juga mengajarkan, jangan menyerah kepada keadaan. Tetap harus berusaha, berpikir, melakukan terobosan, agar tetap bisa produktif dan berpenghasilan. 

Saya sempat menyampaikan kepada pengusaha ikan kerapu, bahwa banyak nelayan yang tidak punya modal, tidak punya uang untuk membeli pakan, sehingga tidak bisa melakukan budi daya kerapu. Padahal mereka antusias ingin melakukan budi daya kerapu. Nelayan seperti ini bisa diajak untuk bekerja sama dengan diberikan modal, diberikan pakan, diajari melakukan budi daya. Kemudian nelayan ini menjual kerapu kepada pengusaha dan mendapatkan keuntungan. Pengusaha melakukan ekspor, juga mendapat keuntungan. 

Budi daya kerapu juga merupakan wujud pemanfaatan potensi laut yang selama ini masih belum maksimal. Semoga budi daya ikan kerapu di Sumbar bisa memberikan dampak positif kepada banyak nelayan sehingga kehidupannya bisa lebih baik. Selain itu, dengan adanya ekspor ikan kerapu juga bisa memberikan pemasukan kepada negara berupa pajak ekspor. 

(*)

Kami Hadir di Google News