Opini

Pilkada, Otonomi dan Kemajuan Daerah

77
×

Pilkada, Otonomi dan Kemajuan Daerah

Sebarkan artikel ini
Israr%2BIskandar
Oleh: Israr Iskandar

MJ News – Pemilihan kepala daerah secara serentak tahun 2020 sejatinya bernilai sangat strategis bagi pembangunan demokrasi lokal dalam arti seluas-luasnya, namun sayangnya masih kerap terdistorsi berbagai bentuk pragmatisme politik elit dan partai politik dalam makna peyoratif sehingga di banyak daerah hasilnya belum berkorelasi positif khususnya dengan peningkatan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan berdemokrasi, berotonomi dan bernegara.

Sudah diketahui sejak awal, bahwa desain demokrasi lokal bercorak transaksional dan kapitalistik menjadi akar semua masalah ini. Tak heran, bagi banyak calon dan partai politik, persoalan yang dianggap lebih urgen adalah bagaimana memenangkan pertarungan dengan mengerahkan segenap sumber daya dalam makna kemampuan mereka atau pendana mereka menanggung biaya kemahalan dalam kontestasi, baik biaya resmi maupun tidak resmi.

Alhasil, hal-hal lebih esensial, seperti visi dan misi calon, seolah menjadi isu sekunder atau sengaja dipinggirkan dulu. Padahal, publik sendiri tentu sangat berkepentingan dengan adanya kontestasi visi dan misi memajukan daerah. Sayangnya, di tengah riuh-rendah pilkada serentak, fokus elit dan partai pada pertarungan bercorak “ekonomi politik” an sich diperparah pula oleh rendahnya kritisisme publik pada isu-isu sepenting ini.

Tidak heran, di banyak daerah, alih-alih mendapatkan pemimpin yang inovatif dan kreatif untuk memajukan daerah, publik justru hanya mendapatkan pemimpin politik biasa-biasa saja. Bahkan, tak jarang publik kemudian mendapatkan kepala daerah “bermasalah” secara hukum, termasuk korupsi.

Tujuan Otonomi dan Demokrasi

Padahal sampai saat ini masih banyak “pekerjaan rumah” di daerah-daerah yang mesti dikerjakan serius, namun terkesan luput dari “perhatian” elit lokal. Hampir dua dekade otonomi belum sepenuhnya membawa perubahan substantif di banyak daerah. Padahal sejak otonomi diberlakukan, sudah banyak dana dari pusat dikucurkan ke daerah-daerah. Namun hasil-hasilnya masih jauh dari harapan awal. Sebagai contoh, berdasarkan data BPS 2019, dua provinsi yang sudah lama berstatus otonomi khusus justru memiliki tingkat kemiskinan paling parah.

Persoalan utama lainnya, otonomi sejatinya juga mengamanatkan kepala daerah untuk mengambil inisiatif memajukan dan sekaligus pelan-pelan memandirikan daerahnya. Otonomi dalam konteks demokrasi seperti kata Bung Hatta (1957) pada ujungnya adalah “auto-aktiviteit” di mana rakyat ikut menentukan apa yang baik dan buruk bagi daerahnya.

Namun, faktanya justru sebaliknya. Alih-alih mengambil prakarsa untuk melakukan inovasi dan kreasi untuk memandirikan dan memajukan (ekonomi) daerah secara berkelanjutan, banyak pemimpin daerah atau elit politik lokal malah beramai-ramai dan “bergantian” menggerogoti anggaran publik.

Masalahnya secara “alamiah” pejabat publik hasil politik transaksional tidak akan punya nyali atau keberanian moral melakukan terobosan kebijakan untuk memajukan dan apalagi memandirikan daerahnya sesuai tujuan substantif otonomi dan demokrasi. Termasuk absennya nyali menerobos pelbagai halangan klasik selama ini, seperti birokrasi, yang secara esensial kulturnya ternyata belum banyak berubah.

Birokrasi di banyak daerah, misalnya dalam penggunaan anggaran, masih belum menjalankan prinsip efektif, efisien dan ekonomis, apalagi berkeadilan. Anggaran yang dihabiskan belum berdampak signifikan pada kepentingan publik. Bahkan ironisnya, sampai kini APBD di banyak daerah anggaran rutinnya sampai 70 persen, sehingga tersisa 30 persen saja untuk anggaran pembangunan. Itu kalau tidak dikorupsi pula!

Tidak hanya itu, birokrasi juga terjebak dalam pusaran politisasi, dalam arti menjadi “alat” politik dan ekonomi tertentu. Tidak heran, di banyak daerah, kepala daerah bukan memperbarui birokrasi, tapi malah sebaliknya. Struktur pemerintahan lokal dibiarkan atau malah sengaja dibuat “tambun” dan budaya lama birokrasi tetap dipertahankan.

Dengan kondisi politik pemerintahan lokal semacam itu, tentu sulit mengharapkan kepala daerah akan melakukan upaya-upaya memaksimalkan pencapaian tujuan otonomi itu sendiri.

Hampir musykil pula mereka bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi berkualitas dan berkelanjutan, memberantas kemiskinan, mengatasi ketimpangan, memajukan pendidikan, mengatasi kerusakan lingkungan, ancaman bencana alam atau wabah penyakit di daerahnya.(*)

Kami Hadir di Google News