Opini

Memutus Dendam Sejarah

79
×

Memutus Dendam Sejarah

Sebarkan artikel ini
Israr Iskandar

Oleh: Israr Iskandar

Walaupun sudah 55 tahun berlalu, tapi tragedi 1965 masih meninggalkan trauma mendalam bagi sebagian masyarakat Indonesia, khususnya keluarga korban akibat keganasan Gerakan 30 September (G30S/PKI) maupun rentetan aksi-aksi penumpasan terhadap kelompok komunis itu.

Sejarah mencatat, kejadian itu menandai permulaan suatu transformasi kekuasaan dari rezim lama dipimpin Presiden Soekarno (Orde Lama) ke suatu rezim baru yang dipimpin Soeharto (Orde Baru). Namun pada saat itu juga dimulai suatu tradisi pemupukan dendam sejarah dalam kehidupan berbangsa kita yang tak pernah benar-benar diputus sampai saat ini. 

Tradisi pemupukan dendam sejarah itu bahkan kemudian kian eksesif. Jika Orde Baru seakan menafikan capaian-capaian Orde Lama, pasca-turunnya Presiden Soeharto tahun 1998, rezim Orde Reformasi kemudian juga seakan menisbikan segala kebijakan dan capaian rezim Orba. Padahal, setiap orde politik memiliki kelebihan sekaligus kelemahannya sendiri.

Celakanya, kenyataan tersebut pun seakan melengkapi pola-pola dendam dalam pelbagai hubungan sosial, ekonomi dan politik di negara kita dari dulu hingga kini. Internalisasi semangat persatuan bangsa memang telah dilakukan melalui medium pendidikan, olahraga, jaringan birokrasi, bahkan partai politik, tapi hal itu seolah belum mampu juga memutus pelbagai bentuk penegasian atas kelompok-kelompok yang dianggap berbeda.

Dampak Sistemik

Pelbagai konflik dan kekerasan yang menjadi duri bagi perkembangan keindonesiaan sampai era reformasi sering dianggap sebagai peristiwa yang masing-masing berdiri sendiri. Konflik antarkelompok sosial, persoalan separatisme yang hilang timbul di Papua hingga pelbagai aksi terorisme di era reformasi nampak sebagai peristiwa tak terkait satu sama lain.

Padahal jika ditelisik, pelbagai kejadian tersebut dalam batas tertentu adalah kelanjutan pola-pola dendam dalam hubungan sosial, ekonomi dan politik. Salah satu akar konflik bernuansa SARA di beberapa daerah di awal reformasi dan (dalam batas tertentu) juga penguatan politik identitas lainnya belakangan ini, misalnya, ditenggarai sering berasal dari prasangka tertentu yang terbangun antara lain lewat pengalaman sejarah relasi antar kelompok sosial di masa lalu yang memunculkan pandangan minor secara berkelanjutan bahwa mereka “berbeda” dari dulu. 

Dalam batas tertentu, pola-pola dendam sejarah juga berlaku dalam hubungan antarumat beragama maupun antarsekte dalam agama tertentu di banyak daerah. Masalah bertambah ruwet ketika muncul semacam altruisme dan stigmatisasi tentang relasi mayoritas-minoritas. Pola dominasi yang tercermin dalam kegiatan politik atau ekonomi, baik yang dinisbatkan kepada mayoritas maupun minoritas, justru menanamkan bibit-bibit konflik sosial di pelbagai tempat.

Pola mayoritas-minoritas tak hanya dalam konteks relasi antarumat beragama atau antarsekte dalam agama, tapi juga hubungan antaretnis dan kelompok sosial lainnya. Aksi kekerasan rasial terhadap etnis Cina pada awal reformasi merupakan bagian dari “aktualisasi” pola hubungan persepsional yang timpang antar-elemen sosial yang juga berakar dari sejarah. Begitu pula hubungan konfliktual dalam relasi antaretnis lainnya di banyak daerah yang hilang timbul di era reformasi, seperti kasus kekerasan rasial di Wamena beberapa waktu lalu.

Gejolak hubungan antara daerah dengan pemerintah pusat sampai hari ini juga bagian warisan pola-pola dendam dalam hubungan ekonomi politik pusat-daerah di masa lalu. Seakan hendak melampiaskan aspirasi lokal yang tersumbat selama ini, euforia otonomi di daerah-daerah dalam dua dekade ini sering menafikan kepentingan publik maupun kewibawaan negara bangsa sendiri. 

Pola hubungan dendam dalam konteks relasi sosial, politik dan ekonomi di negara kita harus diakhiri. Caranya tentu bukan dengan serta merta memaafkan rangkaian kesalahan individu, kelompok bahkan negara di masa lalu, tapi dengan pemahaman yang utuh atas warisan persoalan tersebut, termasuk misalnya ranah hukum yang berkeadilan. Dengan cara seperti itulah pola-pola dendam dalam relasi keindonesiaan dapat diminimalisir dan bahkan menjadi energi positif bagi kemajuan bangsa.

(Penulis, Dosen Sejarah Universitas Andalas)


(*)

Kami Hadir di Google News