![]() |
Masyarakat yang lahannya tergusur akibat pembangunan tol mengadu ke DPRD Sumatera Barat. (ist) |
mjnews.id – Puluhan masyarakat dari empat nagari di Kabupaten Limapuluh Kota mendatangi DPRD Sumatera Barat (Sumbar), Jumat (2/10/2020). Mereka mengeluhkan pembangunan tol yang akan menggusur perkampungan adat dan lahan produktif mereka.
Masyarakat ini berasal dari Nagari Gurun dan Lubuk Batingkok, Kecamatan Harau serta Nagari Taeh Baruh dan Simalanggang, Kecamatan Payakumbuh, Limapuluh Kota.
Perwakilan Kerapatan Adat Nagari (KAN) Baruah, Rahman Syarif Datuak Patiah mengatakan mereka bukannya menolak pembangunan tol. Mereka paham tol dibutuhkan. Namun mereka menyesali pembangunan tol malah mengganggu kehidupan mereka.
“Balai adat dan mushalla bahkan juga dikorban untuk lokasi pembangunan tol ini. Perkampungan padat dengan dua persukuan akan lenyap karena dilalui jalan tol. Kami ini, masyarakat adat, bukankah juga dilindungi undang-undang?” ujarnya.
Dia mengatakan bahkan tidak ada sosialisasi pada masyarakat terkait pembangunan tersebut. Masyarakat menjadi lebih kecewan karena pemancangan lahan dilakukan tanpa sepengetahuan masyarakat dan pemilik lahan.
“Kami merasa sangat kecewa dan kami tidak bisa diam saja diperlakukan seperti ini,” ujarnya.
Rahman menilai seharusnya ada pembicaraan dengan masyarakat sebelum dilakukan hal-hal seperti pemancangan tersebut. Apalagi masalah ini, menurut dia, bukan masalah sepele. Melainkan masalah besar bagi mereka karena menyangkut perkampungan adat dan lahan mereka.
“Sekali lagi kami bukannya menolak pembangunan tol. Tapi seharusnya pilihlah lokasi yang tidak mengganggu perkampungan masyarakat,” tegasnya.
Menurut dia, pembangunan tol tidak harus melalui lahan mereka. Bisa saja dialihkan melewati Gunung Bungsi di sana.
Warga Lubuak Batingkok, Mafilindo menyampaikan kekecewaan yang sama. Mafilindo yang merupakan ketua gapoktan itu menyesali pembangunan tol justru mengganggu penghidupan mereka.
“Saya dan beberapa masyarakat di sana hanya bisa cari makan dengan bertani. Kalau lahan kami diganggu karena tol, kami bisa apa? Tidak bisa kami beralih ke pekerjaan lain,” ujarnya.
Dia berharap pembangunan jalan tol tersebut dialihkan ke area yang tidak mengganggu pemukiman dan lahan produktif masyarakat. Apalagi, menurut dia, lahan tersebut sangat menguntungkan bagi petani seperti mereka karena tanahnya yang subur.
“Bekerja sebagai petani itu bukan pekerjaan sebentar. Dulu para orangtua kami bersusah payah menjadikan lahan itu subuh untuk bertani. Sekarang sudah subur malah mau dijadikan tol,” katannya.
Mafilindo mengatakan dirinya dan puluhan masyarakat yang datang bukannya anti atau menolak pembangunan. Namun mereka berharap pembangunan bisa dilakukan tanpa membuat hidup mereka kesusahan apalagi merugikan mereka.
“Tolong pindahkan saja,” pintanya.
Ketua DPRD Sumbar, Supardi yang menerima kedatangan masyarakat dari empat nagari itu mengatakan sangat memahami bagaimana perasaan masyarakat. Dia mengatakan kehadiran jalan tol memang diperlukan. Dengan adanya tol maka pembangunan suatu daerah akan semakin bisa cepat.
“Namun tentu saja jangan sampai pembangunan tol merugikan masyarakat. Jangan sampai mengganggu tempat tinggal dan pekerjaan masyarakat,” tegas Supardi.
Dia mengatakan pembangunan jalan tol semestinya tidak menggusur pemukiman masyarakat. Harus ada alternatif yang bisa dijadikan pilihan lain untuk tidak melewati pemukiman tersebut. Selain itu Supardi mengatakan untuk ganti rugi lahan, harus pula tidak disamakan.
“Jangan disamakan antara lahan produktif dengan lahan tidak produktif. Bagaimana pun itu sangat berbeda manfaatnya bagi masyarakat,” tegas Supardi.
Untuk itu dia menegaskan tim yang akan menilai ganti rugi lahan harus independen. DPRD, tegas Supardi akan mengawasi hal tersebut.
“Masalah ini akan DPRD kawan. Aspirasi sudah kami terima, tentu kami akan upayakan jalan tengahnya,” ujar Supardi.
(*/eds)